Pukul setengah dua malam, Taeyong dan kawan-kawannya turun dari lantai tiga. Mereka masih sempat tertawa ketika ditangga. Hingga tawa itu terhenti karena melihat Rea yang berdiri di ambang pintu kamar Taeyong.
Mata mereka beradu. Doyoung menepuk bahu Taeyong dan segera meninggalkan Taeyong masuk kedalam kamarnya. Disusul Johnny, Yuta dan Jeffrey yang sempat sekilas mencuri pandang kearah Rea.
"Lo, kenapa belum tidur? Perut lo udah enakan?" Taeyong berdiri berjarak lima langkah dari Rea. Gadis itu sadar, Taeyong tak ingin main-main dengan trauma nya.
Rea mengangguk. "Lo tidur mana?" Tanya gadis itu dengan suara serak.
"Kamar Doyoung. Lo mau minum? Gue temenin ambil kebawah kalo haus."
"Enggak."
"Oke, kalo gitu cepetan tidur. Gue ke kamar Doyoung dulu." Baru saja Taeyong akan membalikkan badan. Pergerakannya terhenti.
"Y– yong. L– lo tidur dalem aja, kasur bawah lo bisa ditarik kan?"
Setelah tadi, belum ada satu hari yang lalu. Bahkan baru dua jam yang lalu, gadis itu menyadari trauma nya. Dia sudah mengijinkan seorang laki-laki asing berada disekitarnya?
"Enggak, gue gak papa. Lo beneran gak haus? Kalo iya gue temenin ke bawah ambil air. Galon disini habis."
Taeyong paham betul, Rea hanya merasa bersalah karena persoalan kecil tadi. Dan dia sendiri memang tidak mempermasalahkan hal itu. Toh, wajar jika Rea memiliki trauma. Taeyong paham benar soal itu.
"Gue gak akan berhasil hidup lebih baik kalo gue masih punya trauma, Yong."
"Tapi gak segamblang itu, Re. Lebih parah kalo lo paksain waktu lo takut-takutnya."
Rea menggeleng tegas. Menatap Taeyong. Dan, tidak ada kebohongan disana.
"Gue percaya sama lo. Gue mau sembuh. Gue gak mau punya trauma."
Taeyong menghela nafas pendek. "Lo masuk dulu kalo gitu, gue ambilin minum buat lo."
Rea menurut, ia masuk kedalam kamar. Dengan mati-matian berusaha mengenyahkan segala ketakutannya. Dan satu hal baru yang tidak ia sadari, ia mulai begitu percaya dengan seorang Lee Taeyong.
Sosok asing yang masuk begitu saja kedalam hidupnya. Menghancurkan segala tatanan doktrin dikepalanya namun tak pernah berhasil dicegahnya.
Taeyong masuk kedalam kamar, dan menemukan Rea yang sudah terlelap diatas ranjangnya. Menyisakan satu bantal dan guling disamping, pertanda untuk Taeyong gunakan.
Cowok itu pelan-pelan menarik ranjang bawah. Dan menggesernya menjauh dari ranjang utama. Waktu menunjukkan pukul dua malam. Tak perlu waktu lama, cowok itu segera hanyut kedalam mimpinya.
____
Kata Aera, jika nilai ujian nasional Taeyong masuk lima besar dikelasnya, ia akan diajak berjalan-jalan. Mengunjungi makam mama mereka. Ini kali pertama Taeyong akan kesana. Jantungnya berdebar hebat. Ia tidak sabar.
Taeyong mengetuk pintu kamar kakaknya dengan hati yang gembira. Sembari menggenggam kuat selembar hasil perjuangannya. Nilainya memuaskan, ia menduduki peringkat dua dikelas dan sepuluh besar disekolahnya.
"Kak, aku masuk ya?" Ujarnya, tak bisa menyembunyikan raut bahagia.
Tidak ada sahutan. Taeyong mencoba mengetuk pintu sekali lagi.
"Kak, aku udah bawa hasil ujiannya."
Sepuluh menit ia berpikir kakaknya sedang berdandan untuk segera pergi dengan dirinya. Sepuluh menit ia berjalan mondar-mandir dari kamarnya menuju pintu kamar kakaknya.
Kesal. Taeyong akhirnya mencoba membuka pintu kamar kakaknya yang ternyata tidak terkunci.
Dan rasa sesalnya memuncak hebat begitu saja. Mengapa ia tidak membuka pintu ini sejak sepuluh menit yang lalu? Mengapa ia tidak pernah sepaham itu dengan penderitaan yang kakaknya tanggung seorang diri.
Kakaknya, dengan darah yang bersimbah dilantai. Ia berlari mendekat. Membawa jasad beku itu kedalam dekapannya.
"Kakak. Kak, kakak denger aku kan? Kakak jangan gini, tolong. Kakak bangun. Kak, kita mau ke makam mama kan kak? Kita jenguk mama, kak. Kakak bangun."
Katanya, laki-laki yang kuat tidak boleh menangis. Tapi hari ini Taeyong tidak peduli. Hatinya sakit, dan ia tak mampu menahannya.
Berulang kali ia menepuk pipi dingin itu. Mengecek nadi yang sudah tak lagi berdenyut ditangan kakaknya. Bajunya ikut basah oleh darah. Darah yang mengalir dari tangan kiri kakaknya yang telah terputus nadinya.
"Kak, kakak jangan bercanda. LEE AERAA!!" Teriakannya menggema diseluruh ruangan.
Taeyong meraung. Menangis sejadi-jadinya. Sembari terus menggenggam tangan dingin jasad kakaknya. Sembari terus menyesal dan menumpuk ketakutannya. Sembari terus menyalahkan semesta dan dirinya sendiri. Sembari terus membiarkan dirinya basah, oleh darah.
Diusia lima belas tahun itu akhirnya Taeyong paham. Ayahnya lebih dari sekedar kejam dan bajingan. Pria tua itu lebih pantas disebut pembunuh.
Aera hanya salah satunya. Salah satu dari perempuan yang dijualnya kepada teman-temannya. Mengatas namakan dunia modelling yang itu sendiri telah membuat Aera menderita.
Hanya karena modeling sialan itu, Aera mengalami anoreksia. Dan sekarang? Aera kehilangan nyawanya. Hanya demi uang yang nantinya ayahnya terima dari menyewakan Aera pada teman-temannya.
Lantas, kemana akhirnya nanti ia harus mencontoh? Kemana ia pulang nantinya, kemana ia akan mendapatkan contoh tentang laki-laki yang kuat dan baik?
Pada akhirnya, Aera tidak sebatas menjenguk makam mamanya. Tapi, ia turut pulang pada pangkuan mamanya. Tanpa kehadiran ayah mereka. Yang Taeyong sendiri tidak sudi untuk bertemu pria tua itu.
Tapi Aera tetap lah Aera pada pendiriannya. Ada sebuah surat yang ia tuliskan untuk Taeyong. Surat yang mengatakan jika papanya mencintainya. Surat yang menyuruh Taeyong untuk terus memaafkan papanya.
Dimana rasa maaf itu telah terkubur bersama jasad dingin Aera yang telah tenang. Rasa maaf itu, tak akan pernah datang lagi untuk kedua kalinya.
____
Rea menaruh kembali gelasnya keatas meja kecil disamping ranjang. Ia menoleh kearah Taeyong yang terlihat tidur dengan tidak tenang. Berulang kali merubah posisi tidurnya dan banyak bergerak.
Nafasnya pun tidak teratur.
Memberanikan diri, Rea akhirnya berjalan mendekati cowok itu.
"Taeyong," panggilnya lirih.
Mendengar suara itu, Taeyong segera membuka matanya. Dengan keadaan setengah sadar, ia hampir saja berteriak terkejut.
"Kakak?" Ujarnya.
Rea mengerutkan alis. "Gue Rea. Lo mimpi buruk?"
Taeyong segera tersadar. Ia menaruh kembali kepalanya keatas bantal. Rea terlihat berjalan mengambil gelas air minumnya. Memberikannya pada Taeyong.
"Minum dulu, biar lebih tenang."
"Itu punya lo."
"Gue gak berani ambil kebawah. Minum aja apa adanya. Gue gak punya penyakit menular lagian."
Cowok itu segera beranjak, mengambil gelas yang Rea berikan.
"Lo ngapain bangun jam segini?" Pasalnya ini pukul tiga pagi. Taeyong baru berhasil memejamkan matanya satu jam. Dan mimpi buruk itu sudah menyerangnya begitu saja.
"Gue mau ganti." Balas Rea. Taeyong yang paham hanya mengangguk.
"Yaudah sana."
Rea akhirnya meninggalkan Taeyong sendirian. Ia masuk kedalam kamar mandi dengan segala rasa penasarannya.
🚫🚫🚫
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
dive in the blue || lee taeyong [SELESAI]✔
أدب الهواة"Gue hidup bukan buat diri gue lagi. Gue cuman takut sakit waktu mau mati. Meskipun hidup gue rasanya lebih sakit." -Kang Zurrea, 2021