Zielle mengajak [Name] dan yang lain ke tempat yang lebih sepi setelahnya. Menanyakan pada mereka apa yang sebenarnya terjadi tadi, mengapa [Name] bisa bergetar seperti itu. Zielle tidak tahu kenapa Moody menarik lengan adiknya, namun jika [Name] menggeleng dalam diam dan bibirnya bergetar seperi tadi, Zielle tahu kalau [Name] sedang tidak baik-baik saja dan orang itu membuatnya tidak nyaman.
Zielle tidak akan membiarkan adik perempuan kesayangannya diperlakukan tidak pantas dengan orang lain, tidak lagi. Cukup sembilan tahun lalu tugas Zielle sebagai seorang kakak gagal, ia tidak mau kegagalannya terjadi lagi. Cukup dua orang sialan dulu yang berhasil membuat mereka merasa sangat bodoh.
"Orang gila itu mengajarkan kalian tentang kutukan terlarang?" tanya Zielle nyaris tidak percaya.
Kendra mengangguk. "[Name] dan Hermione sudah melarangnya padahal, namun tetap saja," katanya.
Zielle melangkah mendekati [Name] yang masih terduduk lemas, bersandar di pundak Harry sebagai tumpuan untuk kepalanya. Zielle menggerakkan kedua tangannya untuk menangkup wajah [Name]. Dapat terasa kalau kulit wajahnya begitu dingin namun lembab karena air mata yang terus menerus mengalir membasahi pipinya. Bibir [Name] juga sangat pucat saking gemetarnya.
"Please tell me if someone dares to hurt you, ok?" Zielle menatap dalam manik kelabu [Name]. Tidak ada kebohongan dari sorot mata Zielle. Ia benar-benar khawatir dengan adik perempuannya.
[Name] mengangguk lemas dengan senyuman tipis di wajahnya. "I will, Zie."
"Hi! Ada apa?" Sorot mata Seren mendadak berubah menjadi tajam ketika menyadari eskpresi wajah [Name]. "Kakak menangis?" tanya Seren yang baru saja sampai disana bersama Neressa di belakang.
[Name] tersenyum tipis lalu menggeleng. "I'm okay, Ser."
"No, you're not. I know you're lie," timpal Neressa.
Zielle menghembuskan napasnya. "Then why are you still asking?"
"I'm not. She's the only one who asking," kata Neressa seraya melirik Seren. "Ah, sudahlah. Ada apa sebenarnya?" Neressa bertanya pada Zielle dan yang lain.
"Moody, guru baru itu, menggunakan mantra terlarang sebagai bahan pembelajaran hari pertamanya."
"The fuck?" sahut Seren tidak percaya.
Neressa menghela napas. "Biar kutebak, [Name] teringat mum dan mimpi buruknya, kan?"
Mereka semua mengangguk hampir bersamaan.
"Terkadang aku berharap aku tidak pernah lahir darinya," kata Neressa lalu berlenggang pergi.
Drystan menahan tangan Seren ketika gadis itu ingin beranjak mengejar Neressa. "Biarkan. Dia selalu butuh waktu sendiri ketika seperti ini. Sudah biasa terjadi di Manor."
Seren memutar bola matanya malas. "Justru itu, dia butuh teman bicara. Jangan dibiarkan dia memendam semuanya sendiri."
"Aku tahu," balas Drystan. "Tapi percaya padaku dia tidak akan berbicara sepatah kata pun jika kau menghampirinya sekarang. Dia tidak ingin diganggu."
"Baiklah." Seren menyerah.
***
Malam ini Great Hall dipenuhi oleh murid-murid yang ingin mendaftarkan diri mereka di acara Turnamen Triwizard. Yah, walaupun tidak sedikit anak-anak yang hanya menonton atau mendukung kawannya.
"Ayo, Cedric. Masukkan!" kata salah satu anak Hufflepuff, mendorong bahu Cedric agar pria itu mendekat ke piala api yang ada di tengah Great Hall.
Cedric hanya tertawa kecil melihat kelakuan teman-temannya yang begitu semangat. Dengan keadaan rambutnya yang basah, Cedric melangkah mendekat ke arah piala itu. Ia menjulurkn tangannya, lalu memasukkan selembar kertas yang sudah ia tulis dengan namanya ke dalam sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
── 𝐀𝐌𝐄𝐑𝐓𝐀 ; 𝗵. 𝗽𝗼𝘁𝘁𝗲𝗿
Fiksi Penggemar𖧵 ՙִՙ 𝗵𝗷𝗽 𝗳𝗮𝗻𝗳𝗶𝗰, 𝗼𝗻 𝗵𝗼𝗹𝗱. Mungkin menurut orang-orang, menjadi keluarga Griswald adalah sesuatu yang dapat dibanggakan. Yah, menjadi anggota dari salah satu keluarga terkenal di dunia sihir memang mengagumkan. Tapi itu tidak seband...