“R-Ray…” Bibirnya bergetar, suaranya terdengar parau kala Rana menyebut nama itu.
Sementara Rayden, pandangannya fokus ke depan dengan tatapan kosong. Detik berikutnya, ia bergumam lirih, “Papa… kurang apa buat sih buat Mama?”
Rana yang memang sudah menangis semakin terisak kencang. Orang-orang mungkin mengira jika ia baik-baik saja, jika ia masih orang yang sama meski kehilangan pendamping hidupnya.
Tapi jauh dari itu semua, dia merasa tersiksa hidup dalam penyesalan. Dia merasa kehilangan yang amat mendalam.
“Papa aja nggak cukup, ya?”
Wanita paruh baya itu segera beranjak, duduk di sisi kosong sebelah anaknya— karena teknisnya, sofa ini cukup panjang, bahkan Rayden yang badannya tinggi menjulang sering tidur di sini meski sebagian kakinya tetap menjuntai.
Beliau menyingkirkan laptop di pangkuan Rayden sebelum memeluk cowok itu erat-erat. Suara tangisnya seakan berlomba-lomba dengan suara gemuruh guntur di luar sana. “Maaf… maafin, Mama,” gumamnya.
Pelangi tentu saja panik, tidak ada yang memeluknya saat ini. Dia buru-buru mendekat, ikut memeluk tubuh Rayden yang sekarang berada di tengah-tengah.
“Maaf buat apa?” tanya Rayden. Cowok itu tidak membalas pelukan Mama ataupun Pelangi. Pandangannya masih terus mengarah ke depan, entah menatap apa.
“Nggak percaya sama kamu…”
“Den, takut.” Pelangi mencicit pelan, namun tidak ada yang mempedulikannya. Padahal biasanya kala ia memeluk Rayden, cowok ini akan membalas pelukannya tak kalah erat.
“Gagal jadi Ibu yang baik buat kamu.” Tangis beliau semakin bertambah kencang. “… gagal jadi istri yang baik buat Papa.”
“Adanya kamu sekarang ini jadi bukti gimana sayangnya Papa ke Mama dulu. Tapi Mama malah serakah… hiks,” ucap Rana yang semakin erat merengkuh Rayden. “Mama ngerasa kurang… Mama mikir kalo Papa nggak sempurna.”
Pelangi ndusel-ndusel di pundak cowok itu. Harusnya dia tidak berada di sini— karena mungkin saja apa yang mereka bicarakan sekarang merupakan sebuah privasi— apalagi dalam keadaan ketakutan dan gelisah begini.
“Besok kita kumpulin keluarga Mama sama Papa ya, Nak. Biar mereka tahu kalo Mama salah.”
Gadis itu masih sempat mengelus tangan Rana sekilas. Ia tidak tega mendengar tangis beliau.
“Habis itu kita ke kantor polisi ya, Sayang.”
Rayden tetap membisu ketika Rana mengecupi seluruh wajahnya. “Kita ke makam Papa sama-sama, biar Papa lebih tenang,” lanjut beliau lagi. Beralih mengelus kepala anaknya, lalu merapikan rambutnya.
Rupa Rayden benar-benar duplikat Devon. Yang semudah itu membuat Rana kian merasa bersalah. “Sekarang Mama cuma punya kamu, Ray.”
“Rayden…” panggil Pelangi. “Takut, Den.”
Detik berikutnya, Rayden baru menoleh. Seakan baru tersadar, cowok itu menjulurkan satu tangannya guna melingkari pinggang Pelangi. Dia berucap dengan nada datar, “Udah nggak usah takut lagi.”
Pelangi mengangguk, meski sebenarnya merasa tak puas dengan pelukan cowok itu. Perlahan, tangannya memegang ujung baju Rayden, berusaha menyingkapnya. Jelas saja Rayden bergerak cepat menahannya.
“Kalo mau yang enak jangan di depan Mak gue!”
“Bentar aja,” mohon Pelangi. “Mau liat bentar.”
Rayden berdecak. “Mesum amat.” Namun tetap membiarkan gadis itu melakukannya.
Saat Pelangi berhasil menyingkap baju Rayden sebatas perut, mata Rana yang masih memerah tampak melotot lebar. Cowok itu yang baru ingat, ia buru-buru menurunkan bajunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CERAUNOPHILE [Completed]
Fiksi RemajaSama halnya dengan sebuah lilin di tengah gelapnya malam, seperti itulah hubungan benang raja dengan sang guntur. ©copyright Listikay Oktober 2020.