24. Hilang untuk pulang

117 31 12
                                    

"Kok diem?"

Pelangi malah gelagapan, lantas buru-buru melanjutkan kalimatnya. "Nggak lama setelah itu Ibu hamil gue, waktu di USG cowok. Ayah seneng banget waktu itu. Tapi lahirnya cewek, mungkin Ayah kecewa."

"Masa kecewa aja ampe Lo segede dugong gini?" tanya Rayden heran. "Terus gimana bisa Kakak Lo nggak tau?"

"Waktu Tante bilang mau bawa Kakak, Ayah minta waktu. Terus dia tiba-tiba baik, tiba-tiba ngajak ngomong... pertama kali gue ngerasa hidup setelah Ibu nggak ada." Pelangi tersenyum sendu. "Tapi setelah Kakak ikut Tante, Ayah balik lagi kayak dulu."

Rayden mendengarkan sambil merapikan rambut gadis itu. "Terus?"

"Kakak taunya Ayah udah berubah." Pelangi menghirup aroma cowok itu dalam-dalam. "Ayah ngangep gue anaknya cuma di depan orang lain aja. Tapi gue tetep seneng..."

"Dia sering buang makanan yang Lo bikin gitu?" Kini giliran Rayden yang menghirup aroma rambut Pelangi.

"Enggak." Pelangi menggeleng. "Ayah lebih banyak diem. Mungkin aja Ayah capek karena pulang malem-malam. Biasanya nggak dibuang, kok."

"Tapi nggak dimakan juga, kan?"

Diamnya Pelangi membuktikan jika apa yang diucapkan cowok itu memang benar. "Padahal Lo bikin itu sambil nahan pusing. Turun ke bawah sambil nahan takut petir."

Itu memang benar. Namun anehnya, Pelangi seolah terbiasa. Mungkin saja Ayah pusing lantaran banyak pekerjaan menumpuk di kantor yang mewajibkannya pulang sampai larut.

Pelangi hanya ingin menghidangkan sesuatu yang hangat dalam cuaca hujan begini, agar Ayah tidak kedinginan. Meski Ayah seolah tidak peduli padanya, beliau tetap membiayai hidup Pelangi.

Dan kalau Pelangi boleh berharap sedikit, ia merasa Ayah bekerja keras di luar sana untuknya. Untuk membiayai segala kebutuhannya, meski tidak mendapat kasih sayang sebagaimana mestinya.

"Foto keluarga Lo..." Rayden sengaja tidak melanjutkan kalimatnya. Matanya menatap figura yang terpanjang rapi di tembok. Ia ingat betul, bagaimana pernah merasa iri hanya dengan menatapnya tanpa tahu apa yang terjadi di baliknya.

"Gue masih kecil banget waktu itu..."

"Bentukan Lo kayak tuyul anying."

"Tuyul ndasmu!" Pelangi menyahut tak terima. Lalu matanya terpejam begitu suara guntur kembali menggelegar. "Itu namanya lucu!"

"Lucu dari mane, mata Lo melotot!"

Pelangi memilih diam, tampak lelah meladeni cowok itu yang berpotensi membuatnya ikutan gila.

Saat itu Pelangi tentu memakai baju, kepalanya juga ditumbuhi rambut. Tentu saja itu tidak layak disebut tuyul, kan?

Gadis itu mengerutkan dahi begitu Rayden juga ikut diam. Lalu, Pelangi memilih kembali melanjutkan ceritanya. "Tapi gue inget banget."

"Inget apaan?"

"Dulu tukang potonya nyuruh Ayah gendong gue, terus gue udah ngangkat tangan sambil nyengir. Tapi Ayah nggak mau... padahal gue juga anaknya."

Tadinya foto itu tidak memerlukan kursi. Cukup berdiri dan memasang senyum manis dengan Pelangi di gendongan Ayah dan Senja yang seharusnya berdiri di depan Ibu.

Namun, apa yang terpajang memperlihatkan Pelangi yang berakhir duduk di pangkuan Ibu. Ayah di sebelah Ibu dan Senja di depan Ayah dengan posisi sama-sama berdiri.

"Gue mau mewek waktu itu, terus Ibu bilang nggak pa-pa. Katanya tangan Ayah sakit, gue tau kalo Ibu bohong. Tangan Ayah baik-baik aja."

"Lo lanjut mewek apa ngerem?"

CERAUNOPHILE [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang