Rayden masih ingat betul kala itu, beberapa bulan setelah Pelangi keluar dari rumah sakit dan menjalani pengobatan mentalnya.
Hari itu dia datang ke rumah Pelangi sambil membawa kue-kue yang sudah disiapkan Mama sekaligus tanghulu kesukaan Pelangi ketika gadis itu tengah duduk di ruang tengah bersama Ayahnya.
“Kalau ke sini nggak usah bawa apa-apa, Den,” ucap Alan setelah Rayden duduk di hadapannya.
“Nggak pa-pa kali, Om. Lagian itu juga nggak beli, kok.” Dia melirik ke arah Pelangi yang asyik ngemil chacha. “Itu ada tanghulu,” ujarnya kemudian.
Pelangi sontak menoleh, lalu menaruh permen chachanya begitu saja sebelum beralih meraih bingkisan yang ada di atas meja.
Pelangi masih tidak mau merespon tiap kali Rayden mengajaknya bicara, selalu saja bungkam. Dia memang sudah tidak berteriak histeris ketika Rayden mendekatinya, tapi dia akan berjalan mundur secara perlahan… menjauhinya.
Rayden pernah membaca sebuah kalimat yang kira-kira isinya, “jauh lebih menyakitkan berduka untuk orang yang masih ada ketimbang orang yang benar-benar sudah nggak ada”.
Dan dia mengalami itu sekarang. Pelangi memang masih di sini, tidak kemana-mana, dia juga masih bisa melihatnya, tapi terasa seperti menghilang.
Namun seperti yang Lembayung bilang, Rayden hanya perlu sabar sampai Pelangi tidak merasa terganggu lagi dengan kehadirannya.
Sesaat kemudian Alan beranjak, sengaja meninggalkan mereka berdua seperti yang sudah-sudah. Sementara Rayden hanya menatap Pelangi dalam keheningan.
Bingung ingin memulai obrolan dari mana karena ujung-ujungnya dia pasti seperti bicara seorang diri.
“Udah makannya, jangan banyak-banyak.” Cowok itu mengulurkan tangannya. “Sini.”
Niatnya ingin meminta tanghulu yang masih tersisa, namun Rayden justru dibuat tertegun saat Pelangi justru meraih uluran tangannya.
Karena enggan berharap lebih, Rayden sengaja menunggu. Berpikir kalau saja Pelangi salah merespon, yang tadinya ingin mengulurkan tanghulu tapi malah tangannya yang dia ulurkan.
Beberapa menit berlalu dan Pelangi masih tidak menarik tangannya kembali. Justru semakin mengeratkan tangannya di atas tangan besar cowok itu.
Detik berikutnya Rayden segera berdiri sambil menarik tangan Pelangi. Dia berjalan mendekat, melewati meja yang menjadi penghalang keduanya sebelum beralih merengkuh tubuh gadisnya.
Mendekapnya erat-erat.
Semakin erat ketika tidak ada penolakan dari gadis itu.
“Nggak pa-pa, ini gue,” ucapnya kemudian kala Pelangi berniat menjauhkan tubuhnya.
“Bau rokok…”
“Nggak pa-pa, baunya enak.”
“Nggak enak.” Ia menjauhkan tubuhnya, hanya menciptakan jarak sedikit karena kedua lengan Rayden menahan pinggangnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.