46. Akhir

172 29 6
                                    

“LO YANG AMBIL NYOKAP GUE, ANJING!!!”

“Nga-mbil apa?” Meski ketakutan, Pelangi juga penasaran. Karena jelas tidak mungkin jika ia merebut Ibu cowok itu.

Zoe mengatur deru nafasnya yang berantakan, lalu berpindah, merebahkan diri di sebelah Pelangi. Pegal juga lama-lama kalau harus menahan berat badannya hanya dengan kedua tangan.

“Nyokap kita meninggal di hari yang sama.”

Pelangi mengerutkan kening begitu mendengar kalimat Zoe.

Dari dulu, ia hanya tahu kalau Zoe dan dirinya sama-sama sudah kehilangan sosok Ibu. Pelangi hanya tahu kalau Mama Zoe sudah lama meninggal. Entah kapan tepatnya, atau apa penyebabnya, dia sudah tidak ingat lagi.

“Selisih waktunya juga nggak lama,” lanjut cowok itu. “Waktu nyokap Lo kesamber petir, Lo langsung lari. Nyebrang gitu aja tanpa toleh kanan kiri. Anak umur segitu aja nyebrang liat kanan kiri belom tentu bisa, apalagi asal lari gitu aja.”

“Emangnya…” Pelangi meneguk ludahnya susah payah. Ingatannya kembali melayang pada kejadian dua belas tahun silam. Hari dimana hidupnya terasa hancur dalam sekejap. “Salah ya kalo gue—,”

“Jelas salah!!” Zoe tiba-tiba berteriak. “Lo tolol! Bego!! Otak Lo nggak ada!!!”

Selama mengenal Zoe— dan ingat itu sudah lebih dari sepuluh tahun lalu— dia tidak pernah membentak Pelangi, tidak pernah berlaku buruk padanya, sering membantu kalau-kalau Pelangi tengah kesusahan.

Baru kali ini dia melihat Zoe yang seolah sudah kehilangan akal sehatnya.

Rasanya sangat asing dan membuatnya tidak nyaman.

“Ada truk tronton yang jalan ke arah Lo waktu itu!” sentak Zoe lagi. “Gara-gara liat Lo, nyokap gue jadi ikutan tolol!! Dia lari, nolongin Lo. Sampe nyawanya yang jadi korban.”

Gadis itu kehabisan kata-kata setelah mendengar cerita yang sesungguhnya. Satu peristiwa penting yang menghilang dalam ingatannya.

“Kalo aja Lo nggak goblok waktu itu, nyokap gue nggak mungkin mati!”

“… Maaf.” Hanya kalimat barusan yang berhasil Pelangi ucapkan.

“Semenjak nyokap gue nggak ada, bokap jadi jarang di rumah,” lanjut Zoe. “Gue pengen kayak orang-orang. Pengen kayak dulu lagi. Yang punya keluarga lengkap, harmonis, nggak pernah ngerasa kesepian.”

“…”

“Gue pengen punya hidup normal.”

“Kita sama Zoe… gue juga pengen.” Dia menatap langit-langi ruangan ini dengan tatapan sendu. “Pengen banget.”

Mendengar ucapan terakhir cowok itu, Pelangi jadi terdiam sesaat. Ia pernah menonton sebuah serial film Inggris, dimana ada sebuah kalimat yang masih ia ingat betul sampai sekarang.

You want a normal life, but you’re not normal.

Kira-kira isinya begitu. Terasa amat menusuk karena sebuah kebenaran yang tidak bisa ia elak.

“Ya! Karena Lo juga yang nyeret gue, jancok!” Zoe berteriak, emosinya meluap-luap. “Itu salah Lo yang pertama.”

“… maaf…”

“Nggak usah minta maaf! Udah telat!!”

“Makasih…”

“Ngapain bilang makasih, Su?!”

“Zoe… Lo ngomongnya kasar banget.” Pelangi mencicit pelan. “Dari tadi juga bentak-bentak.”

“Bodo amat!”

CERAUNOPHILE [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang