Hidupnya nyaris runtuh, bahkan ia juga hampir jatuh.
Dalam pikirannya yang sudah keruh, dia hanya ingin tetap utuh.****
"Yang pendek-pendek aja, Ray. Yang panjang jangan."
Rayden memutar bola matanya malas. "Iya-iya— ADOHH!!"
"Dibilangin yang pendek aja!" Rana ngomel-ngomel. "Dipake nggak sih itu kupingnya?!"
"Ya lagian..." Cowok itu mengelus pahanya yang terasa panas akibat kena tampol Mamanya. "Kurang kerjaan banget malem-malem masa nyuruh nyabutin uban?!"
"Belum tau aja kamu gatelnya runyam gini," ucap beliau sambil garuk-garuk kepala. "Sebelah sini pasti ada nih."
Meski tampak ogah-ogahan, Rayden tetep menurut. Mengais-ngais harta karun tepat di titik yang sudah ditunjuk Rana.
"Mama belum tua-tua banget perasaan, masa udah ubanan gini," gerutu wanita itu. "Yang panjang nanti katanya bisa buat lampu."
"Lampu apaan yailah."
"Lampu di akhiran," jawab Rana begitu yakin.
"Yeu, itu cahaya pas kiamat yang bener. Makanya nggak usah dicabutin." Rayden menasehati. "Kalo Mama punya sehelai uban, ntar dapet satu kebaikan, satu kesalahan Mama dihapus, terus ditingiin satu derajat."
"Sok tau kamu."
"BENER ITU DARI HADITS!" Cowok itu nge-gas.
"Nggak sopan kamu teriak-teriak sama orang tua gitu," tegur Rana setelahnya. "Nanti..." Ada yang terdengar berbeda dari kalimat barusan. "Kalo udah waktunya Mama ketemu Papa... Papa bakal maafin Mama nggak ya, Ray?" tanyanya sendu.
"Ya mana tau."
"Papa takut nggak ya liat muka Mama yang sekarang?"
"Nggak tau, Ma," sahut Rayden. "Udah nggak usah ngomongin itu."
"Mama kangen Papa kamu, Ray."
Mendengar suara Rana yang jelas bibirnya sudah bergetar, Rayden berpindah duduk di bawah. Tepat di sebelah Mamanya, lalu memeluknya dari samping. Ia mengelus bahu beliau menenangkan.
"Mama suka..."
Cowok itu mengerutkan keningnya. "Suka apa?"
"Kamu."
Detik itu juga, Rayden langsung menjauhkan tubuhnya dengan mata melotot lebar. "APAAN ANJIR SEREM AMAT!!"
"Serem bagian mananya?" tanya Rana. "Mama emang suka... suka dipeluk kamu," jelasnya. "Rasanya kayak lagi dipeluk Papa."
"Ohh." Rayden manggut-manggut, sebelum akhirnya kembali mendekat dan mendekap Mamanya lagi, yang secepat itu dibalas Rana tak kalah erat.
"Kamu itu duplikat Papa tau Ray."
"Tapi sintingnya ngikut Mama."
Beliau terkekeh pelan. "Kalau semua ngikut Papa, itu namanya nggak adil." Seolah baru teringat, Rana menyeletuk lagi, "Mama kok lama nggak liat Pelangi. Nggak ke sini dia?"
"Nggak, biarin aja. Ngeyel anaknya."
"Bilangnya biarin aja tapi kok mata kamu gitu?" tanya Mama setelah melepaskan pelukannya. "Samperin sana."
Rayden mulanya hanya diam saja, hanya berlangsung beberapa detik karena setelahnya cowok itu sudah beranjak dan berjalan menuju kamarnya.
"Malah kabur."
Tak lama setelah itu, suara teriakan Rayden terdengar menggelegar. "MA, LIAT DOMPET NGGAK?"
"NGGAK." Rana balas berteriak. "MAKANYA KALO NARUH APA-APA JANGAN SEMBARANGAN."

KAMU SEDANG MEMBACA
CERAUNOPHILE [Completed]
Подростковая литератураSama halnya dengan sebuah lilin di tengah gelapnya malam, seperti itulah hubungan benang raja dengan sang guntur. ©copyright Listikay Oktober 2020.