29. Mungkin lelah

131 24 5
                                    

“Gue pengin ketemu Mama Lo, boleh?”

Rayden mematikan mesin pembuat permen kapas, menyempatkan melahap makanan manis itu sebelum menjawab pertanyaan Pelangi. “Mau ngapain?”

Gadis itu diam sejenak sambil berpikir. Karena dia juga tidak tahu kalau mereka sudah bertemu, lalu mau apa. “… main,” sahutnya kemudian.

Rayden melotot. “Main apa?!!”

“Ya… main.”

Cowok itu menghembuskan nafasnya. “Nyokap gue jarang di rumah.” Dia mangap lagi, lanjut mengunyahnya pelan. “Lagian gue juga nggak akur ama dia.”

“Dia minggat lagi?!” Pelangi menjerit kaget. Jarang di rumah dan tidak akur membuat Pelangi menyimpulkan dengan mudah jika orang tua Rayden sering kabur-kaburan dari rumah. Seperti yang pernah Pelangi simpulkan saat Rayden bercerita hanya ditinggal bersama Papanya ketika cowok itu masih kecil.

Pelangi mengelus lengan Rayden dengan tatapan iba. “Ya ampun, kenapa hobi banget minggat-minggatan gitu.”

“Lambemu!” sambar Rayden ikut ngegas. “Mama nggak minggat!”

Kerutan di dahi gadis itu terlihat jelas. “Terus?”

“Nyokap gue punya bakery kecil-kecilan gitu.”

Pelangi mengangguk mengerti. Pantas saja rumah Rayden sangat sepi, detik berikutnya matanya berbinar pasti. “Ada macaron?”

“Mana ada!” Rayden mencium bau-bau pencarian makanan gratis. Lantas cowok itu memiring-miringkan badannya dengan posisi masih duduk di atas karpet secara tiba-tiba, diikuti tatapan heran Pelangi. “Duh, runyam.”

“Lo ngapain?” tanya Pelangi penuh waspada.

“Silit gue gatel.”

“Jorok banget!” pekik gadis itu. “Pasti nggak pernah cebok.”

“Halah bacot, sini bantuin garuk,” ketus Rayden sambil menggaruk bokongnya. Masih dalam tahap normal karena dia tidak memasukkan tangannya ke dalam celana.

“Najis!!”

Rayden tertawa, lalu mendesah lega begitu rasa gatalnya pergi entah kemana.

Pelangi mengamati cowok itu yang sudah kembali melanjutkan kegiatan semula. Memakan permen kapasnya tanpa memikirkan apa-apa. “Lo nggak akur beneran sama Mama Lo?” tanyanya kemudian mulai penasaran.

Rayden mengangkat kepalanya, dia menjawab sambil mengunyah. “Ya gitu.”

“Kayak gue sama Ayah gitu?”

Cowok itu mengangguk sekilas. “Tapi beda.”

“Bedanya?” Pelangi bertanya heran dengan sebelah alis terangkat.

“Gue yang males akur ama dia.”

Pelangi mengerutkan dahi. Dia merasa Rayden seperti menyia-nyiakan kesempatannya, cowok itu masih punya sosok Ibu, sedangkan Pelangi sudah lama sekali tidak merasa lembutnya usapan Ibu. Tapi yang jelas, dia tidak pernah lupa bagaimana hangatnya tangan itu ketika menyentuhnya.

“Kenapa gitu?”

Rayden menggeleng, seolah enggan menjawab. “Sejak kapan nggak akur?” Oleh sebab itu, Pelangi menganti pertanyaannya.

Gadis itu terkesiap begitu Rayden menatapnya dengan tatapan yang dalam, tentu berbeda dari tatapan biasanya. Hanya hal-hal tertentu yang bisa membuat Rayden mengeluarkan aura itu. “Sejak hari dimana Papa meninggal,” jawabnya. Suaranya nyaris seperti bisikan yang justru terkesan memekakkan telinga.

CERAUNOPHILE [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang