Bab 1

380 193 634
                                    

Jakarta, sepuluh tahun kemudian

Seorang gadis tengah mematut diri pada cermin berukuran 120 x 60 sentimeter yang menempel pada lemari bajunya, sembari memakai sebuah kalung. Gadis itu lalu merapikan rambut panjang lurusnya yang sedikit berantakan setelah kalung tersebut terpasang rapi di lehernya.

"Sayang, ayo turun! Sarapan!" teriak seorang wanita yang tak lain adalah ibu si gadis.

"Iya, Ma!" Gadis itu balas berteriak agar sang ibu yang berada di lantai dasar dapat mendengar suaranya.

Gadis itu lalu pergi ke ruang makan yang ada di lantai dasar.

*****

"Pagi, Ma," sapa si gadis pada sang ibu setelah masuk ke ruang makan.

Sang ibu tersenyum, kemudian membalas sapaan anaknya. "Pagi juga, Sayang." Wanita itu lalu mengambilkan nasi goreng untuk sang anak yang sudah duduk di seberang meja. Berhadapan dengan dirinya.

Putri adalah nama gadis itu. Lengkapnya Putri Anandina Harun.

"Papa mana, Ma?" tanya Putri yang sedari tadi tidak melihat keberadaan sang ayah.

Aruna Harun---ibu Putri, menunda sejenak suapan pertamanya untuk menjawab pertanyaan Putri. "Hari ini ada meeting. Jadi, papa berangkat ke kantor lebih awal."

"Oh," balas Putri. Gadis itu pun mulai memakan sarapannya.

Aruna masih memperhatikan Putri. Tepatnya pandangan wanita itu tertuju pada kalung yang melingkar rapi di leher Putri.

"Apa nggak sebaiknya kalung itu disimpan aja di rumah dan ganti dengan kalung pemberian Aldo?" Pertanyaan Aruna membuat Putri menunda suapannya.

Putri menatap sang ibu malas. Sejak Aldo---pacar Putri---membelikannya kalung pada satu minggu yang lalu, Aruna selalu melontarkan pertanyaan yang sama setiap sarapan saat melihat kalung dengan liontin merpati tersebut melingkar rapi di leher Putri.

Gadis itu harusnya menyembunyikan kalung tersebut di balik seragamnya untuk menghindari pertanyaan sang ibu. Namun, jika sudah menjadi kebiasaan, susah untuk mengubahnya.

Putri baru akan menyembunyikan kalungnya di balik seragam setelah tiba di sekolah. Sepulang sekolah, gadis itu akan kembali mengeluarkan kalung tersebut. Pun, agar dilihat orang lain, dasi sekolahnya tidak langsung dipakai sebelum tiba di sekolah dan akan dilepas sepulang sekolah.

Entah dari mana Putri mendapat kebiasaan pamernya itu. Padahal kedua orang tuanya tidak pernah mengajarkannya untuk pamer.

Putri mengembuskan napas pelan. Ia lantas tersenyum. "Keberadaan kalung ini mewakili keberadaan Vero. Jadi, aku tidak akan menggantinya dengan kalung lain." Putri melontarkan jawaban yang sama setiap Aruna memintanya untuk mengganti kalung dari sang sahabat dengan kalung pemberian Aldo.

Aruna pun memilih untuk tidak melanjutkan obrolan dengan memulai sarapannya. Karena wanita itu tahu akhir dari obrolannya dengan Putri, jika dia tetap melanjutkan obrolan tersebut.

*****

Putri turun dari taksi lantas menatap sekolah barunya.

Sebenarnya Putri enggan untuk pindah. Di Bandung---kota kelahirannya, banyak kenangan Putri, khususnya dengan sang sahabat. Di sana juga, ia dan sang sahabat membuat janji. Janji yang akhirnya diingkari karena takdir Tuhan.

Sudah sepuluh tahun, tetapi Putri masih belum bisa merelakan.

Putri mengambil napas panjang sebelum mulai melangkah. Ketika melewati gerbang, banyak pasang mata yang memperhatikannya. Bahkan saat turun dari taksi, Putri sudah menjadi pusat perhatian.

Sebagian besar berasal dari kaum adam. Wajar saja, mengingat Putri terbilang cantik. Tubuh tinggi semampai, kaki jenjang, kulit putih bersih, rambut panjang digerai, lekuk tubuh ideal, wajah cantik natural dan imut. Siapa coba yang tidak tertarik dengan karya Tuhan yang mendekati sempurna itu? Mungkin cuma gay yang tidak tertarik.

Namun, Putri tak menghiraukan siulan atau godaan dari para kaum adam yang menggodanya. Ia berjalan menuju kantor kepala sekolah. Letaknya yang cukup mudah ditemukan membuat Putri tidak perlu repot bertanya pada orang lain. Selain itu, ia juga sudah tahu letaknya.

"Assalamualaikum," salam Putri.

"Waalaikumsalam," jawab seorang pria paruh baya yang Putri kenali sebagai kepala sekolah.

Hari Jumat lalu, mereka pernah bertemu ketika Putri mendaftar sekolah. Jadi, mereka sudah saling mengenal.

"Langsung temui bu Nesa di kantor guru. Beliau adalah wali kelasmu," ucap Satya---Kepala Sekolah SMA Maheswari.

Putri yang hendak masuk pun membatalkan niatnya. Pamit lalu pergi ke kantor guru yang bersebelahan dengan kantor kepala sekolah. Terpisah oleh sebuah lorong.

Ketika hendak ke kantor guru, Putri berpapasan dengan seorang pemuda bertas punggung di koridor. Sempat tak berkedip ketika melihat wajah si pemuda.

Wajah tampan kebarat-baratan dan mata kebiruannya seolah-olah menghipnotis Putri.

Putri yang tersadar segera menggeleng. Sementara pemuda itu melirik Putri. Sorot mata yang awalnya fokus ke wajah Putri, turun agak ke bawah. Seketika matanya membola, terkejut. Ia tiba-tiba berbalik, menatap Putri dengan tatapan tak percaya.

"Kenapa lo bisa ada di sini?" tanya pemuda tersebut. Sementara Putri memasang wajah bingung. "Maaf, apa sebelumnya kita pernah bertemu?" tanya gadis itu.

Sorot mata pemuda tersebut kembali seperti semula, tajam terkesan dingin. "Sorry, gue salah orang," ucapnya, lantas pergi meninggalkan Putri.

"Cowok aneh," gumam Putri, tak ingin didengar oleh si pemuda. Dia pun melanjutkan langkahnya menuju kantor guru.

Namun, Putri tidak menyadari, pemuda tadi sekarang tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit dimengerti.

LEXVEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang