Bab 2

313 171 763
                                    

Alexander Sergio Jordan, atau yang akrab dipanggil Alex, masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Namun, ia merasa kehadiran gadis yang tadi ditemuinya bukanlah sebuah kebetulan.

"Woe, Alex!" Sebuah teriakan tepat di telinga berhasil menyadarkan Alex. Pelakunya Arga Dwi Satya, teman sebangku sekaligus teman dekat Alex.

Alex menatap tajam Arga yang baru duduk di kursinya, sembari mengusap telinga kirinya yang berdenging. Namun, Arga tampak tak peduli melihat Alex yang kesal karena ulahnya.

"Jangan melamun! Nanti kesambet," tegur Arga, disusul gelak tawanya. Alex hanya mendengkus. Teman dekatnya yang satu ini tak pernah kapok mengagetkannya. Padahal tangan kanan pemuda itu dulu hampir dipatahkan Alex ketika mereka belum terlalu akrab.

"Oh iya, kayaknya Bianca bakal punya saingan."

Alex melirik Arga, lantas salah satu alisnya terangkat. "Maksud lo?"

"Tadi pas gue mau ke kantin, gue lihat murid baru di perpustakaan. Cewek. Cantik banget, Lex. Sumpah," tutur Arga bersemangat. "Bahkan menurut gue, dia lebih layak menyandang status Queen Maheswari dibanding Bianca.

"Alasannya, selain dia cantik, feeling gue bilang, murid baru itu baik. Buktinya dia akrab sama Dira, si penerima beasiswa."

Ya, murid baru itu memang baik dan orang baik sepertinya tidak seharusnya menderita, batin Alex. Ia tiba-tiba berdiri. "Gue mau ke toilet," ucapnya, lantas pergi keluar kelas.

Alex pun pergi ke toilet terdekat, menutup pintu lalu masuk ke salah satu bilik dan menunggu di sana sampai bel masuk berbunyi.

Lima menit berlalu, bel masuk pun akhirnya berbunyi.

"Minta induk elang untuk kembali ke sarang," ucap Alex dalam Bahasa Jepang. Entah dengan siapa ia bicara.

Beberapa menit kemudian, ponsel Alex bergetar panjang. Tanda ada telepon masuk.

Alex pun mengambil ponselnya yang disimpan di saku celana dan mengangkat panggilan tersebut.

"Bisa jelaskan, apa maksudnya ini? Kenapa dia bisa ada di sekolah ini?" semprot Alex dalam Bahasa Jepang, tak memberi kesempatan lawan bicaranya untuk bicara terlebih dahulu.

"Maksud kamu apa, Nak?" tanya seorang pria paruh baya yang juga menggunakan Bahasa Jepang.

"Berhenti seakan-akan kau tidak tahu apa-apa! Aku ulangi sekali lagi, kenapa dia bisa ada di sekolah ini?" Alex mengulangi pertanyaannya dengan penekanan pada kata dia.

Orang di seberang telepon mengembuskan napas pelan. "Kamu merindukannya, bukan? Jadi, apa salahnya jika Papa mempertemukan kalian?"

Alex mencengkeram kuat ponselnya. Ia yakin pasti, orang ini memiliki tujuan lain. "Setelah kau melarangku menemuinya? Apa sebenarnya tujuanmu?"

"Hanya mencoba mengobati kerinduan sang anak kepada sahabatnya."

"Omong kosong!" bentak Alex. "Setelah yang kau lakukan dulu, aku tidak akan pernah memercayaimu!" tambahnya.

"Satu hal lagi!" Alex kembali bersuara, bernada dingin dengan penuh penekanan. "Jangan berani kau melibatkan dia dalam masalah keluarga kita! Jika kau berani, maka aku akan membunuhmu!" ancamnya.

Alex lalu menutup panggilan sepihak dan langsung kembali ke kelas. Gue nggak akan ngebiarin lo kenapa-napa. Gue janji, batinnya bertekad untuk melindungi orang yang ia kasihi.

*****

Bel panjang berbunyi sekali, menandakan waktunya istirahat. Semua murid bergegas keluar kelas, tak ingin menyia-nyiakan waktu istirahat mereka yang hanya lima belas menit.

LEXVEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang