Bab 22

10 6 1
                                    

"Apakah insiden penembakan Aldo ada hubungannya dengan dirimu?" Pertanyaan berbahasa Jepang dan bernada dingin ini adalah kalimat pertama yang Alex ucapkan begitu ia mengangkat telepon dari sang ayah.

Ini kali pertama pria paruh baya itu isiatif menelepon Alex. Biasanya ia hanya menelepon ketika diminta sang anak.

Alex akan mengucapkan kalimat "minta induk elang untuk kembali ke sarang" dalam Bahasa Jepang. Yang berarti meminta sang ayah untuk menelepon Alex karena pemuda itu ingin membicarakan sesuatu.

Kalimat itu juga digunakan untuk mengintruksi orang suruhannya agar mengamankan jalur komunikasi mereka. Juga mengecek sekitar untuk memastikan tidak ada orang yang menguping.

Cukup merepotkan memang, tapi mau bagaimana lagi. Semua itu demi keamanan.

Selain itu, Alex tak bisa menelepon sang ayah karena tak memiliki nomor telepon ayahnya. Pria paruh baya itu tak memberikan nomor teleponnya pada Alex dan selalu menggunakan nomor privat untuk menelepon Alex. Alasannya juga demi keamanan.

"Cari tempat yang lebih sepi. Baru kita bicara," ucap ayah Alex juga dalam Bahasa Jepang.

Sebagai jawaban, Alex meletakkan ponselnya di dasbor mobil tanpa memutus panggilan telepon. Ia lantas menjalankan mobilnya dan memarkirkannya di pinggir jalan di depan sebuah rumah kosong yang berjarak beberapa puluh meter dari markas Twin Dragon.

Rumah mewah berlantai dua dengan halaman yang cukup luas itu sudah kosong sejak sepuluh tahun yang lalu. Sampai sekarang belum ada yang menempati.

Konon rumah itu angker. Bahkan, kesan angkernya masih kentara, meskipun di sekitarnya terang oleh lampu jalan.

Penyebab keangkeran rumah kosong itu karena sepuluh tahun yang lalu terjadi pembantaian satu keluarga di sana. Pelakunya tak lain adalah si kepala keluarga. Ia lalu ditemukan bunuh diri di rumahnya setelah membunuh keluarganya sendiri.

Tambah menyeramkan karena di seberang jalan lain terdapat sebuah tegalan yang tak kalah luas dari halaman rumah kosong tersebut.

Oleh sebab itu, sekitar rumah kosong tersebut sepi. Hanya terlihat beberapa kendaraan yang melintas. 

Alex kembali menempelkan ponselnya di telinga. "Kita bisa bicara di sini," ucapnya.

"Jadi, apakah kau terlibat dalam insiden penembakan Aldo?" Alex kembali melontarkan pertanyaannya yang tadi dengan sedikit modifikasi, tapi masih dengan nada dingin.

"Awalnya Papa berniat menggunakan pemuda itu untuk mengetahui siapa yang dikirim RIPPER ke Indonesia," jawab ayah Alex.

"RIPPER? Apa hubungannya dengan … jangan-jangan yang membunuh Aldo–"

"Ya, dia adalah pembunuh RIPPER." Jawaban ayah Alex mengejutkan sang anak.

Alex lebih terkejut begitu sang ayah melontarkan kalimat berikutnya. "Papa 'lah yang 'meminta' RIPPER untuk membunuh Aldo."

"Kau … apa!?"

Alex bingung harus berkata apa. "Apa kau sudah gila!?" Hanya kalimat ini yang terlintas di benaknya sekarang.

Disambung serentetan kalimat lain. "Apa kau tahu, apa yang kau lakukan? Bagaimana jika identitasku yang sebenarnya diketahui mereka?" cecar Alex.

"Ini bagian dari rencana Papa."

Alex sudah lama menduga sang ayah merencanakan sesuatu. Namun, ia tetap terkejut mendengar pengakuan ayahnya. "Rencana apa?" tanyanya penasaran.

"Kamu tidak perlu tahu."

Hei! Rencana lo itu bisa saja membunuh gue! batin Alex.

Alex mengembuskan napas pelan. "Apa pun rencanamu, ingat jangan pernah melibatkan princess!"

"Sayang sekali, kemungkinan dia juga akan terlibat dalam rencana Papa." Perkataan sang ayah sukses menyulut emosi Alex.

Pemuda itu mencengkeram kuat ponselnya. "Aku ingatkan sekali lagi, jangan menyeret princess dalam masalah keluarga kita!" peringatnya penuh penekanan.

"Kamu tidak punya kuasa untuk mengatur Papa. Sebaliknya, Papa bisa mengaturmu sesuka hati," jawab ayah Alex.

"Apa yang membuatmu berpikir aku akan menuruti ucapanmu?"

"Apa kamu sudah tidak menyayangi ibumu lagi?"

Cengkeraman Alex pada ponselnya semakin kuat. Sementara tangannya yang lain mengepal kuat.

Rahang pemuda itu menutup rapat,  menandakan emosi yang tertahan.

Cara ini lagi!? batin Alex marah.

*****

Beberapa menit kemudian

Obrolan Alex dan ayahnya sudah berakhir satu menit yang lalu. 

Meski begitu, Alex tak kunjung menjalankan kereta besi tanpa kudanya.

Pemuda itu tengah termenung. Kalimat terakhir sang ayah sebelum memutus telepon sepihak masih terngiang di benaknya.

"Bekerja samalah, jika kamu ingin ibumu baik-baik saja."

"Sial!" umpat Alex, sembari tangan kirinya memukul pintu depan mobil sebelah kiri dengan keras.

"Maafin gue, princess," ujar Alex merasa bersalah lantaran terpaksa menuruti ucapan sang ayah.

Alex menyayangi princess-nya. Namun, pemuda itu lebih menyayangi ibunya---wanita yang sudah melahirkannya ke dunia ini.

"Tapi, gue nggak akan ngebiarin lo kenapa-napa. Gue janji." Meski berkata demikian, wajah Alex jelas menggambarkan kekhawatiran mendalam.

Bisakah gue melindungi lo saat "badai besar" itu tiba? batin Alex meragu.

*****

Sementara itu, ribuan kilometer dari tempat Alex berada

"Bukankah tindakanmu hanya akan membuat dia semakin membencimu?" tanya seorang wanita berpakaian ala ninja, serba hitam dengan masker terbuka dalam Bahasa Jepang. Ia dikenal dengan nama Sakura.

Wajahnya cantik, berkulit putih, bernetra hitam dengan rambut yang dipotong sebahu. Meski fisiknya  terlihat masih muda, tapi nyatanya wanita berdarah Jepang itu sudah tua.

Bahkan, lebih tua dibanding lawan bicaranya, seorang pria paruh baya berdarah Jerman yang duduk di kursi ergonomis menghadap meja. Duduk membelakangi dirinya.

Pria berpakaian kantoran itu baru saja menelepon sang anak. Tanpa memandang lawan bicaranya, ia menjawab juga dalam Bahasa Jepang, "Aku terpaksa melakukan hal ini dan aku tahu apa resikonya. Namun, aku tak menyesal karena ini juga demi kebaikan keluargaku."

Sakura memandang pria yang menjadi lawan bicaranya itu. "RIPPER bukan satu-satunya ancaman bagi keluargamu. Kau tentu tahu itu."

"Aku tahu. Hanya saja, RIPPER adalah pihak yang paling berbahaya dan hanya dengan menghancurkan organisasi itu keluargaku baru bisa aman!"

Sakura yang mendengarnya hanya menghembuskan napas pelan. Ia mengetahui ambisi lawan bicaranya.

"Aku malas menasehatimu. Aku hanya bisa berdoa, semoga rencanamu berjalan sukses," pungkas Sakura. Ia kembali mengenakan masker hitamnya, lantas meninggalkan si pria paruh baya sendirian di ruang kerjanya.

LEXVEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang