Bab 7

77 34 103
                                    

"Assalamualaikum, Papi pulang!"

Arya Maheswari---ayah Bianca---masuk ke rumahnya setelah terlebih dahulu mengucap salam.

Namun, langkah kaki pria jangkung berpakaian kantoran itu tiba-tiba terhenti. Dahinya mengernyit, bingung menatap wanita berdaster motif bunga yang berdiri di depannya.

Bukan tak mengenali siapa wanita itu, melainkan bingung dengan ekspresi yang ditujukan padanya.

Lili Maheswari---ibu Bianca---menatap tajam suaminya yang baru pulang dengan kedua tangan bersedekap di dada.

Arya tahu, istrinya akan bersikap seperti sekarang ini ketika sedang kesal. Namun, apa kesalahan yang diperbuatnya? Ia pulang jam lima sore seperti biasa. Kalau pun lembur, pasti mengabari terlebih dahulu.

Ketahuan selingkuh? Boro-boro ketahuan selingkuh, punya simpanan aja kagak. Bukan tidak laku, tapi Arya termasuk tipe suami yang setia.

"Kenapa, Sayang?" Arya mencoba menghangatkan suasana dengan memecah keheningan yang sempat tercipta. Ia berjalan mendekati istrinya yang masih bergeming.

"Suaminya pulang bukannya disambut ramah malah dicuekin." Arya hendak mencubit pipi sang istri. Namun, tangannya ditepis Lili sebelum tujuannya tercapai.

"Kamu ini apa-apaan, sih!?" bentak Lili.

Arya semakin bingung. "Apanya yang apa-apaan?"

Lili mengembuskan napas kasar. Kedua matanya sempat terpejam sebelum kembali menatap tajam netra sang suami dengan kedua tangan masih bersedekap di dada.

"Kamu jadi ayah yang becus, dong! Bianca tadi dirundung, tapi kamu malah nuduh anak kita yang suka merundung anak orang lain!" protes Lili atas perlakuan suaminya pada Bianca. "Kamu tahu sendiri, Bianca anak baik-baik, malah disuruh minta maaf. Bahkan, kamu ngancam akan nyabut semua fasilitasnya dan ngirim Bianca ke rumah ibu di desa.

"Apa kamu nggak percaya, Bianca tadi dirundung? Apa perlu aku tunjukkin seragam kotornya sebagai bukti!?" Berseru dengan wajah memerah, menahan emosi yang sudah tumbuh sejak tadi.

Sungguh, akting Bianca patut diapresiasi. Bahkan, sampai membuat Lili begitu memercayainya.

Arya mengembuskan napas pelan. "Kita duduk dulu, lalu Papi bakal jelasin kenapa bertindak demikian." Ia berjalan menuju sofa panjang di ruang tamu, lantas duduk di sana dan meletakkan tas kerjanya di meja.

Kemudian pria paruh baya itu menepuk sisi sofa yang masih kosong dengan tangan kanannya. "Sini, Mi, duduk dulu."

Lili pun berjalan mendekat, tetapi ia tidak duduk di samping Arya. Lili memilih duduk di single sofa yang menghadap selatan, menjaga jarak dengan Arya.

"Jauh amat duduknya, Mi." Arya berniat mengikis jarak, tetapi langsung dicegah sang istri.

"Jangan deket-deket sebelum kamu jelasin kenapa bersikap begitu ke Bianca!"

Terpaksa menurut. Arya terlebih dahulu mengambil napas panjang sebelum mulai menjelaskan. "Jadi, tadi jam sembilan lewat---entah lewat berapa menit---ada yang nelepon Papi. Nomor privat. Papi nggak tahu yang nelepon cewek atau cowok karena suaranya disamarkan. Dia juga nggak ngasih tahu Papi identitasnya.

"Orang itu bilang, Bianca suka merundung murid lain. Khususnya para penerima beasiswa dan salah satu korban perundungan Bianca adalah seseorang yang berharga bagi tuannya. Lantas ia meminta Papi buat nyuruh Bianca untuk segera meminta maaf kepada setiap korban perundungannya.

"Tentu Papi nggak percaya karena nggak ada buktinya. Saat Papi tagih buktinya, ia mengatakan bahwa saat itu---saat sedang mengobrol dengan Papi---ia tengah menguras saldo rekening bank Papi. Untuk memastikan, Papi segera mengecek saldo rekening via aplikasi perbankan di ponsel Papi yang lain."

LEXVEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang