Healer 5

664 54 4
                                    

Selamat membaca!

Agus masih ingat dulu saat ia remaja, lebih tepatnya saat dia duduk di bangku SMP. Dia pernah jatuh cinta dengan seorang gadis, dan dia pernah memikirkan membangun rumah tangga dengan gadis yang saat itu dia cintai. Konyol memang, anak SMP sudah memikirkan tentang berumah tangga dengan kekasihnya. Tapi bukankah kita semua pernah mengalami itu saat pertama kali jatuh cinta? Agus pun seperti itu, walaupun pada kenyataannya hubungan dia dan kekasihnya saat itu hanya bertahan 9 bulan.

Selama menjalin hubungan dengan kekasihnya, tidak pernah sekalipun Agus membawa gadis itu ke rumah untuk bertemu dengan keluarganya. Bukannya dia merasa kekasihnya kurang cantik atau apapun itu, hanya saja saat itu hubungan dia dan ibunya merenggang karena satu hal. Dan dia merasa segan untuk mempertemukan pacar pertamanya dengan ibunya, karena pada saat itu kebencian sang ibu pada dirinya sedang berada di puncaknya. Dia saja yang anaknya di diamkan, apalagi pacarnya saat itu, pasti tidak akan di hiraukan.

Dia ingat kala itu ibunya selalu menghindar darinya, padahal mereka tinggal di bawah atap yang sama. Dan enatah berapa lama, mungkin sebulan atau lebih, ibunya tidak berbicara sepatah kata pun padanya. Namun, seiring berjalannya waktu, sikap ibunya mulai membaik dan sedikit demi sedikit kebenciannya itu mencair. Hal itu terjadi berkat usaha Agus yang tak pernah berhenti untuk memulai lebih dulu, memperbaiki hubungan mereka sebagai orang tua dan anak. Tetapi meski sudah membaik, hubungan dia dan ibunya memang tidak terlalu dekat, tidak seperti Vian yang bisa bermanja-manja dan bercerita apa saja pada ibu mereka. Entahlah, mungkin karena memang sifatnya yang tertutup di bandingkan dengan adiknya. Maka dari itu, Agus tidak pernah mengajak atau memperkenalkan perempuan yang sedang dekat dengannya ke ibunya. Jangankan memperkenalkan, membicarakan tentang perempuan ke ibunya pun tak pernah, rasanya terlalu canggung. Itulah alasan mengapa ia takkan menyampaikan salam yang Violet titipkan untuk ibunya tadi.

Mengingat tentang Violet, Agus tidak menampik fakta bahwa sejak pertemuan pertama, dia sudah tertarik dengan wanita itu. Violet cantik, menarik, terlihat seperti wanita mandiri, dan di setiap pertemuan mereka, Agus selalu terpana oleh penampilan wanita itu yang enak di pandang. Tentu saja, Violet seorang designer.

Seandainya bisa, dia ingin sekali mengenal wanita itu lebih jauh, tapi bingung bagaimana harus memulai. Seumur hidup dia tidak pernah mendekati seseorang lebih dulu, kecuali jika sedang butuh saja, one night stand misalnya. Tapi jika berhubungan dengan hati dan pasangan yang bukan hanya dia butuhkan di ranjang, Agus bukanlah pihak pertama yang memulai. Bahkan dengan pacar pertamanya sekalipun.

Jangan berpikir bahwa dia itu laki-laki yang tidak mau berusaha dan hanya mau menerima saja tanpa memberi. Bukan. Jika dia sudah bertekad dan menginginkan sesuatu, apapun itu pasti akan dia lakukan dengan sungguh-sungguh. Hanya saja dia punya kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain, bagaimana dia berkenalan dan memulai percakapan dengan orang asing, hal-hal seperti itu sangat sulit untuk di lakukan. Makanya, selalu dia yang di dekati lebih dulu.

Salah satu contohnya ini.

"Gus, tadi kata Oman kamu keluar ya?"

"Kebiasaan, Le! Ketuk pintu dulu kalo mau masuk, bikin orang kaget aja"

"Hehe. Sorry" setelah menutup pintu, Leandra langsung duduk di samping Agus sambil mengapit lengan lelaki itu.

"Keluar kemana?"

Agus menarik tangannya yang di peluk Leandra "ada meeting tadi sama orang"

Leandra memajukan bibirnya, kesal karena Agus melepas genggamannya, tapi tidak berani protes karena hal itu. "Kenapa ngga dianya yang kesini?"

"Sibuk, mau ada kerjaan lagi"

"Terus kamu udah makan?"

Agus membuat dirinya tetap sibuk. Sengaja, biar Leandra jengah dan keluar dari studionya. "Udah"

"Temenin aku makan, dong" kta wanita itu dengan nada manja yang dibuat-buat.

Agus menghela napasnya lelah, kertas yang tadi berada dalam genggaman tangannya sudah berada di meja. Laki-laki itu membalikan badannya dan menghampiri Leandra "makan sendiri" ucapnya datar, lalu menarik tangan wanita itu agar bangun dari duduknya lalu Agus mendorong pelan bahu Leandra menuju pintu. "Dah, sekarang keluar. Gue mau kerja"

Protesan dari bibir Leandra tak dia hiraukan sama sekali, bahkan saat wanita itu sudah memohon untuk di temani makan, Agus tetap mendorongnya keluar. Kemudian mengunci pintunya setelah itu, agar tidak ada yang mengganggunya bekerja.

💜💜💜

Vio kembali ke butiknya setelah makan siang dengan di antar oleh pria yang menjemputnya tadi. Sesampainya di kantor, ia langsung mengeluarkan ponselnya untuk menelpon papanya. Tadi, selagi makan siang papanya menelpon hingga 3 kali tapi tidak dia angkat.

"Halo pa, kenapa tadi nelpon?"

"Halo, sayang! kenapa tadi telepon papa ngga di angkat?"

"Sorry pa, tadi aku pergi"

"Ada kerjaan di luar?"

"Engga, bukan. Tadi aku makan siang"

"Makan siang? Sama siapa?" Tanya papanya penasaran.

"Sama teman"

"Laki-laki?" Seketika nada papanya berubah jadi excited.

"Iya"

"Berdua?"

Vio terkekeh geli "Iyaa"

"Jujur sama papa, dia bukan teman biasa kan?"

"Teman, pa"

"Ngga-ngga, firasat papa bilang kalo dia lagi deketin kamu, bener kan?"

Hah! Papanya yang terlalu peka dan dirinya yang tidak pandai berbohong. "Ya begitulah"

"Apa dia baik, Vi?" Tanyanya berubah serius.

"Dia baik, tapi aku belum terlalu jauh mengenalnya"

Tanpa Vio tahu bahwa di seberang sana papanya tersenyum, antara senyum haru dan ... lega? Akhirnya anaknya mau mencoba untuk dekat dengan seseorang setelah sekian tahun. "Kalau begitu kenali dia lebih jauh, biar kamu ngga kejebak lagi. Setelah itu, kalau memang kalian serius sama hubungan kalian, bawa dia ke rumah, kenalin dengan papa dan mama. Kita ngga akan ngelarang kalau memang dia orang yang baik dan bisa buat kamu bahagia"

Hembusan napas panjang terdengar dari Violet, dia tahu bahwa papanya sangat berharap. "Aku tolak dia, pa. Aku ... belum yakin sama dia, dia masih asing banget buat aku"

"Ngga apa-apa sayang, jangan terlalu di paksakan kalau memang masih ragu. Denger kamu sudah mau mencoba untuk buka hati lagi aja papa udah seneng banget. Rasanya seperti akhirnya dosa papa tertebus"

"Papa jangan ngomong gitu" ucapnya menahan getar suara karena tangis yang sudah mulai menguasai. Tidak pernah dia tidak menangis jika membahas hal ini. Kenangan itu terlalu menyakitkan untuk di ingat.

"Bagaimana pun itu semua terjadi karena papa, Vi. Kalau suatu saat nanti akhirnya kamu bisa sembuh dan melanjutkan hidup dengan baik tanpa di bayang-bayangi kejadian itu lagi, kami pasti akan sangat senang"

Dalam hatinya, Vio mengamini setiap ucapan papanya. Dia juga ingin menjalani hidup yang normal seperti dulu, dia juga ingin jatuh cinta lagi, menjalin hubungan dengan seseorang tanpa takut sesuatu yang buruk akan terjadi. Tapi sampai saat ini, Vio masih belum mampu untuk menghilangkan bayangan itu dari kepalanya.

Tbc.

Jangan lupa klik bintang dan komen sebagai bentuk apresiasi kepada penulis, biar penulis makin semangan bikin ceritanya

I 💜 U, guys!

Ig: catypattinson10

HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang