Healer 15

443 49 6
                                    

Selamat membaca!

"Ijimayo... uriga. Cincawoyo... uriga. Annyeonghaseo uringan. Annyeonghaseo. IGEBOYAH yeah... ige igeboyah yeah... ige ige igeboyah"

"Kamu nyanyi lagu apa, sih, Sha?" Vio menutup kedua telinganya ketika suara melengking Sasha memasuki indra pendengarannya.

"Nyanyi lagu yang lagi viral bos"

Vio mengernyitkan alisnya. Lagu yang lagi viral? Lagu apa? Kenapa dia tidak tau, dia kan penikmat musik.

"Kok saya ngga tau kalo lagu itu viral?"

"Kan bos ngga main tiktok"

Oh dari tiktok ternyata. Pantas saja, dia kan tidak memiliki aplikasi itu.

"Bos mau denger ngga? Nih saya kasih liat"

Vio langsung menepak tangan Sasha yang berusaha mengambil ponselnya. "Udah kamu nyetir aja yang bener! Saya ngga mau celaka gara-gara kamu main hp sambil nyetir, ya!"

"Sakit bos" rengeknya manja sambil memajukan bibirnya.

Vio mengabaikan rengekan Sasha dan lebih memilih melihat tabletnya. Dia sudah mencatat semua barang yang dibutuhkan untuk pesanan seorang klien, dan kebetulan beberapa bahan di butik juga sudah habis, jadi sekalian saja dia pergi ke mall untuk belanja.

Klien yang satu ini sedikit lebih rewel dari klien-kliennya yang lain. Ya, Vio juga tidak bisa menyalahkan perempuan itu, semua orang pasti menginginkan kesempurnaan di hari paling istimewa dalam hidupnya. Termasuk kliennya satu ini.

Setelah beberapa kali pertemuan, dan Uli masih merasa kurang puas dengan hasil desain yang Vio perlihatkan. Akhirnya kemarin perempuan itu setuju dengan desain terakhir yang Vio buat sesuai dengan keinginannya. Lalu dia meminta kepada Vio untuk menambahkan detail di beberapa tempat agar gaun pernikahannya tidak terlihat terlalu polos.

Dan disinilah Vio, ditemani asistennya yang sejak tadi mengoceh bahwa minggu lalu dia bertemu dengan cowok ganteng brewokan yang selama ini selalu dia idam-idamkan.

"Rasanya saya pengen banget ngelus-ngelus brewok tipisnya itu loh bos. Pasti rasanya enak banget! Kasar-kasar geli gimana gitu." Sasha mengatupkan kedua tangannya di depan dada sambil tersenyum lebar, kedua bola mata wanita itu bergerak ke atas sementara otaknya membayangkan hal yang iya-iya.

Vio rasanya ingin muntah mendengar penuturan Sasha "Sha, suka sama orang itu boleh-boleh aja, tapi tetep kamu harus jaga sikap dan ucapan. Jangan sampe lawan jenis mikir kamu terlalu mudah untuk ditaklukin"

"Ya, gimana bos? Saya kan orangnya ekspresif"

"Kamu harus bisa ngendaliin itu. Ngga semua laki-laki bisa menghadapi perempuan yang ekspresif, sebagian dari mereka bahkan ngerasa risih atau jijik. Ya, memang bagus kalau kita menjadi diri sendiri, tapi jangan langsung buka-bukaan juga di pertemuan pertama. First impression itu penting" Sasha mendengarkan nasihat Vio dengan baik, dia mengangguk-anggukan kepalanya dan merekam omongan Vio di ponselnya.

"Kamu rekam suara saya, Sha?" Pekik Vio terkejut seraya menoleh kearah Sasha.

"Iya, kalo dicatet kepanjangan bos, pegel nulisnya"

Vio hanya bisa geleng-geleng kepala saja mendengarnya, "astaga"

Setelah berkeliling dari satu sekat ke sekat lain, Vio tidak bisa menemukan apa yang dia cari. Lebih tepatnya, barang yang ada di toko ini tidak sesuai dengan seleranya. Vio memang memiliki beberapa toko langganan untuk membeli kebutuhan butiknya, dan ini adalah salah satu toko langganannya. Namun, di toko ini dia tidak menemukan barang yang sesuai dengan yang dia butuhkan. "Kita pisah, ya, biar cepet. Saya mau cari brokat dulu di tempat lain. Di sini ngga ada yang cocok" Sasha hanya mengangguk menyahuti ucapan Vio.

Vio keluar dengan membawa beberapa potongan kain yang dia beli dari toko ini, sementara Sasha di dalam sana masih sibuk memilih pernak-pernik hiasan baju.

Kakinya melangkah mantap ke depan, namun belum sampai dia pada tempat tujuan, Vio berbalik arah. Kerongkongannya terasa kering, dia haus setelah hampir satu jam mengitari toko. Vio berpikir tidak ada salahnya jika ia membeli minum sebentar. Maka Vio memutuskan untuk turun ke bawah.

"Last time i remember, your favorite dessert was ice cream"

Vio terkesiap saat mendengar bisikan di sebelahnya. Raspy voice milik seseorang yang akhir-akhir ini mulai dia hapal. "Mas?"

"Hai!"

Vio belum sempat membalas sapaan laki-laki itu karena pesanan minumannya sudah jadi. Vio mengambil minumannya dan membayarnya. Dia sedikit kesulitan saat akan membayar karena barang-barang yang dia bawa. Tiba-tiba Agus mengambil alih barang-barang yang dia bawa sehingga Vio bisa mengeluarkan dompetnya dan membayar minumannya.

"Makasih" ujarnya kemudian. Saat Vio akan mengambil alih barang-barangnya, Agus melarang. "Ngga usah, biar saya aja" dan ketika Vio akan membantah Agus menambahkan, "tangan kamu penuh" Agus menunjuk tangan Vio yang memegang minuman dan tas dengan dagunya. Akhirnya Vio hanya bisa menghela napas, sedikit sungkan akan bantuan Agus.

Mereka kemudian melanjutkan berjalan. "Kamu belanja ini sendirian?"

"Ngga. Sama Sasha, tapi kita pisah"

"Ini udah selesai belanjanya?"

"Belum, mau lanjut lagi tapi saya beli minum dulu"

Vio melirik Agus yang berjalan mengikutinya dari samping. "Mas mau kemana? Sini, itu biar saya yang bawa"

Agus menjauhkan tangannya agar Vio tidak bisa menggapai apa yang sedang dia bawa. "Saya mau balik ke kantor, tapi masih ada waktu sebentar"

"Yaudah mas balik kantor aja, itu saya bawa"

"Saya bilang kan masih ada waktu"

"Tapi saya takut ngerepotin" Vio menatap Agus memelas. Agus tertawa kecil, merasa gemas dengan raut wajah Violet. "Kamu ngga pernah ngerepotin saya, Vi"

Mereka kembali melanjutkan perjalanan setelah perdebatan kecil itu. Seharusnya mereka menaiki eskalator, tetapi Vio malah menarik tangan Agus ke tempat lain.

"Itu apa?" Vio melihat ada panggung di tengah-tengah lantai mall dan di atas panggung itu ada seperangkat alat musik lengkap beserta dengan mic-nya. Vio membaca tulisan yang ada di spanduk di atas panggung 'Lomba Menyanyi' senyumnya terbit kemudian.

Wanita itu lupa bahwa dia harus melanjutkan belanja untuk kebutuhan butiknya, malah terdampar di sini mengikuti acara lomba menyanyi dan ikut bersenandung ketika ia tahu lagunya. Wanita itu juga lupa bahwa dia masih menggenggam tangan Agus erat sejak tadi.

Agus menatap genggaman tangan mereka, lalu beralih menatap Vio yang sedang bernyanyi sambil tersenyum. Tanpa pria itu sadari bahwa tatapannya kepada Violet bisa membuat orang lain yang melihat salah paham.

Bukan.

Itu bukan tatapan nafsu. Itu tatapan seseorang yang sedang jatuh cinta.

Vio menoleh ke samping dan tatapan mereka bertemu, "saya suka nyanyi" ucapnya kemudian setelah beberapa saat mereka hanya saling bertatapan.

"Saya dulu-"

"Aku" potong Agus.

"Hm?"

"Ngga ada lagi saya-kamu, sekarang aku-kamu" Agus ingin lebih dekat dengan Violet dan panggilan saya-kamu hanya menegaskan bahwa mereka tidak lebih dari sekedar orang asing. Itu membuatnya resah.

Vio tersenyum lembut "Aku dulu mau jadi penyanyi, tapi ngga dibolehin sama papa" lanjut Violet "aku selalu penasaran gimana rasanya nyanyi di atas panggung dan ditonton sama banyak orang. Aku mau rasain itu, at least di depan orang lain selain guru les dan orang tuaku, tapi selama ini aku nyanyi cuma di hadapan mereka aja" Vio tertawa kecil, tapi Agus bisa rasakan kepahitan di balik tawa itu.

"Boleh aku jadi penonton pertama kamu?" Vio menatap Agus bingung, "i'll take you to my place, kamu bisa perform di sana and i'm gonna be your first audience?"

Vio tidak tahu seberapa cepat dia mengangguk saat mendengar tawaran Agus. Tapi satu yang pasti, dia akan mempersiapkan diri dengan baik untuk tampil di hadapan orang lain selain guru les vokal dan orang tuanya, yaitu Agus.

Tbc.

Ig: catypattinson10

HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang