Healer 35

431 41 0
                                    

Selamat membaca!

Anak lelaki itu tersenyum sepanjang perjalanan yang sedang dilaluinya berkat pujian sang ayah.

Rasa bangga menghinggapi hatinya, euforia kebahagiaan seakan meletup-letup dalam dirinya.

Hanya ayahnya, hanya ayahnya yang dapat memberikan rasa seperti ini. Rasa dihargai sebagai seorang manusia dan anak.

"Tapi serius loh mas, itu beneran lagunya kamu yang ciptain?"

"Serius pa, mas ngga bohong"

"Wah, hebat! Bangga papa dengernya" puji ayahnya sekali lagi, membuat dia terkekeh malu.

Sementara seseorang anak berumur 10 tahun yang duduk di kursi belakang sana bertekuk muka melihat interaksi yang tersaji di hadapannya. Mata anak itu menatap tajam kepada sang kakak. Jika saja mata itu mempunyai kekuatan laser, sang kakak pasti sudah meleleh karena sinar laser yang dikeluarkan dari matanya.

Satu pujian lagi terdengar, dan telinganya panas mendengar pujian itu, api cemburu bergejolak di dalam dirinya.

Tidak! Hanya dia yang boleh mendapatkan perhatian seperti itu, hanya dia satu-satunya yang boleh mendapatkan sanjungan. Tidak ada orang lain yang berhak mendapatkan perhatian orang tuanya selain dia, termasuk kakaknya sendiri.

Semua perhatian dan sanjungan hanya boleh tertuju padanya.

Bukankah sejak dulu memang seperti itu? Ibunya, semua om-tante dan  sepupu-sepupunya, juga orang lain selalu bilang bahwa dia lebih tampan, lebih pintar, lebih berbakat dan lebih segala-galanya dari sang kakak.

Dia tidak suka melihat ada orang lain yang lebih tinggi dari dia. Dia tidak suka.

Hanya dia yang boleh berada di atas.

Ya, benar.

Hanya dia.

"Aku mau duduk di depan" ucapnya ketus, memotong pembicaraan dua orang di depannya.

"Loh, kenapa kok adek tiba-tiba mau pindah?"

"Pokoknya Vian mau duduk di depan, di samping ayah!"

Agus memutar bola matanya malas. His attention-seeker little brother mulai berulah.

"Kamu duduk di depannya nanti aja ya, pas pulang. Kita ada di jalan tol, ngga bisa berhenti sembarangan" untuk memberikan sedikit reward atas rasa bangganya terhadap Agus, ayah mereka berencana mengajak anak-anaknya untuk jalan-jalan.

"Gamau! Pokoknya aku mau duduk di depan sekarang. Mas pindah!" Vian menarik lengan baju Agus, namun dia tepis secara kasar tangan adiknya.

Vian tidak mau mengalah, Agus pun sama.

Dan seperti itulah perkelahian di dalam mobil itu terjadi, membuat konsentrasi sang ayah pecah antara mengemudikan mobil dan melerai kedua anak lelakinya.

Sampai salah satu dari mereka tidak sengaja menyenggol kemudi dan menyebabkan mobil menabrak pembatas jalan.

Ingatan itu melintas begitu saja dalam benaknya. Ingatan tentang kejadian yang menewaskan orang paling berharga dan paling dia sayang dalam hidupnya.

Karena dia juga semua itu terjadi.

Ya, Agus menyadari bahwa itu bukan hanya salah Vian. Dia juga ikut andil dalam kejadian yang menewaskan ayahnya. Walaupun memang benar Vian yang memulainya, tapi jika dia tidak meladeni sikap adiknya, semua itu tidak akan terjadi.

Dia jadi sedikit menyesal karena mengatakan kepada ibunya bahwa Vian lah penyebab kematian sang ayah.

Agus menghentikan mobilnya di pinggir jalan, kepalanya tergolek lemah di atas kemudi. Seakan kepala itu menganggung beban yang amat berat.

HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang