Healer 27

448 44 0
                                    

Selamat membaca!

Beberapa menit berlalu namun tatapan mata mereka belum terputus. Yang satu menatap dengan tajam dan mengintimidasi, sementara satunya menatap dengan lembut namun ada kesan berani dan ramah yang sejak tadi masih terpatri di bibirnya.

Jika ini adalah game, maka sudah pasti Agus sedang berhadapan dengan raja terakhir. Namun bedanya, jika di game dia harus mengerahkan seluruh kekuatan untuk melawan si raja. Dalam hal ini dia tidak perlu menggunakan kekuatan sama sekali untuk melawan, cukup menunjukan sifat-sifat dan kepribadiannya yang baik saja.

Oh, jangan salah paham. Bukannya Agus orang yang munafik atau bermuka dua, tapi untuk mengambil hati orang tua dari seseorang yang dicinta kan memang harus menunjukan hal-hal baik dalam diri kita saja. Iya kan?

"Kamu angkat semua barang-barangnya ke bagasi mobil" perintah Abraham yang baru mengeluarkan suara sejak awal bertemu dengannya.

Oh, jadi ceritanya dia sedang dites, nih? Baiklah, akan dia turuti. Demi mendapatkan restu calon papa mertua.

"Pa, kan ada supir dan pembantu" sela Vio memegang lengan papanya.

Abraham tidak menggubris protesan anaknya sama sekali. Vio beralih menatap mamanya untuk minta pertolongan, namun Berlian hanya mengedikkan bahunya saja. "Let him be"

Akhirnya Vio hanya bisa mencebikkan bibirnya dan menghentakkan kakinya saja karena kesal.

Agus beralih menatapnya, memberikan tatapan menenangkan seperti biasa. Pria itu seolah berkata 'calm down, i can handle this'.

Dia mulai mengangkuti barang-barang mereka berempat ke mobil. Koper besar yang berisikan baju-baju milik Abraham dan Berlian dia masukkan ke minibus yang sudah dibuka bagasinya di halaman rumah, tidak lupa juga koper kecil milik berlian yang dia kira berisikan make up dan segala macam produk kecantikan milik wanita itu dia tempatkan di samping koper.

Untuk dirinya sendiri, Agus hanya membawa tas hitam ukuran sedang yang berisi beberapa potong kaus, kemeja, celana panjang, jaket dan pakaian dalam pastinya. Dia masukan tasnya, koper Violet, serta tas tenteng yang berisi make up dan skincare wanita itu ke dalam mobilnya.

"Kamu ngapain masukin tas kamu dan barang-barang anak saya ke mobil kamu?" Agus menghentikan kegiatannya yang baru akan menutup pintu bagasi dan menatap Abraham bingung.

"Kita berangkat bareng, naik mobil saya. Pindahin barang-barang kamu dan Vio kesini" tunjuk pria paruh baya itu ke salah satu mobil yang ia miliki.

Mau tak mau Agus mengangkat lagi barang-barang miliknya dan vio untuk dipindahkan ke minibus milik papa wanita itu.

Abraham memintanya untuk duduk di depan, di samping supir. Sementara dia, Berlian dan Violet duduk di kursi tengah.

"Kenapa aku sama mas Agus ngga duduk di belakang aja, pa?"

"Jangan! Nanti kamu dimodusin"

"Ih! Papa nethink banget, loh! Mas Agus bukan tukang modus"

"Kaya papa ngga tau aja! Kamu udah diajak ke rumah dia berapa kali coba? Udah dimodusin apa aja kamu di sana, hah?"

Agus berdeham tidak nyaman. Mengapa bapak dan anak ini malah membicarakan dirinya secara terang-terangan. "Om kalo mau ngomongin saya lebih baik nanti aja, tunggu pas saya nya ngga ada"

"Ya, bagus dong saya ngomongin kamu di depan kamu langsung, bukan di belakang kamu. Lagian saya lebih suka mengahadapi lawan secara langsung dari pada main belakang"

"Tapi tadi kamu bener-bener ngomongin Agus di belakangnya, pa" celetuk Berlian.

Iya juga, sih. Istrinya tidak salah, secara posisi Agus berada di depannya, yang artinya dia tadi membicarakan Agus tepat di belakang pria itu. Tapi kan bukan begitu maksudnya.

"Bukan begitu konsepnya, ma. Jangan sampe kamu aku bungkam, nih, pake mulu-"

"Papa kalo mau mesum nanti aja sih, pas lagi berduaan!" Sela Violet kesal. "Lagian mas Agus itu bukan lawan papa! He's someone special to me" suara Violet mengecil saat dia mengatakan kalimat terakhir. Ah! Dia malu sekali, tapi memang seperti itu kenyataannya. Agus adalah seseorang yang istimewa untuknya.

Dan akibat dari perkataannya, sekarang dia dapat merasakan wajahnya panas karena tatapan intens dari kedua orang tuanya. Abraham sampai terbengong-bengong tidak percaya dan Berlian hanya mengulum senyum saja.

Oh, jangan lupakan seseorang yang duduk di depan sana. Dia juga merasakan panas di wajahnya karena mendengar kalimat Violet barusan. Hatinya serasa ditumbuhi oleh bunga-bunga yang cantik, dan sekarang dia harus berusaha sekuat mungkin untuk menahan bibirnya agar tidak tersenyum terlalu lebar seperti Joker.

Bahagianya diakui oleh orang yang kita cintai.

💜💜💜

Setelah beberapa jam mereka habiskan di dalam mobil, akhirnya mereka sampai di vila yang sudah Abraham sewa sebelumnya.

Jangan tanyakan mengapa Abraham tidak membeli vila disini--padahal katanya orang kaya--karena dia pun baru pertama kali mengunjungi tempat ini. Jika selama menginap nanti dia menyukai suasana disini, mungkin dia juga akan membeli vila atau tanah di tempat ini yang kemudian akan dia bangun rumah. Sama seperti kota-kota di Indonesia lainnya, jika dia sudah jatuh cinta maka dia akan membeli tempat disana agar keluarganya bisa datang kembali untuk berlibur.

"Aduh, badan papa pada pegel-pegel semua" Abraham merentangkan tangannya ke atas untuk merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku.

"Namanya juga udah tua"

Duh, istrinya ini kalau ngomong kenapa selalu blak-blakkan, sih? Bikin dia malu aja, loh, di depan orang lain.

"Biar tua tapi kan staminanya masih oke. Kamu sendiri yang rasain setiap malam"

"Pa, please!"

Dia hanya menunjukan deretan giginya sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengah yang membentuk huruf 'v' ke anaknya.

"Yaudah, sekarang kita bagi-bagi kamar. Mama sama Vio tidur di kamar atas, papa sama Agus tidur di kamar bawah" setelah mengatakan itu, tiba-tiba suasana menjadi hening.

Semua orang membelalak kaget menatapnya.

Kenapa? Apa ada yang salah?

"Pa, kan ada tiga kamar disini. Papa sama mama tidur di kamar atas. Aku sama mas Agus nempatin dua kamar yang ada di bawah"

Abraham mengangkat tangannya ke depan wajah. "Ngga bisa!" Oh, dramatis sekali papanya ini. "Bisa-bisa nanti dia tiap malem nyambangin kamar kamu terus lagi"

Agus mendengus kasar mendengarnya. Ya ampun, padahal dia tidak sebrengsek itu.

"Papa keterlaluan, loh! Masa sampai segitunya, sih? Kasian mas Agus nanti ngga nyaman. Padahal dia kesini kan juga karena diajakin liburan sama papa! Terus mama gimana? Kalian ngga bisa mesra-mesraan kayak biasanya nanti kalo papa tidur sama mas Agus"

Abraham menatap istrinya nelangsa yang dibalas Berlian dengan tatapan jengkel. Huh! Suaminya terlalu kekanakan.

"Ngga apa-apa, demi kamu" kata Abraham pada akhirnya. "Lagian kalau papa mau, nanti tinggal telepon mama aja. Kan masih ada kamar kosong, ya, sayang?" Katanya, menaik-turunkan alis menggoda istrinya.

"Kaya aku mau aja!" Berlian bangkit berdiri lalu menggandeng tangan anaknya. "Yuk, sayang! kita ke kamar"

Dia pergi begitu saja melewati suaminya tanpa melirik sedikitpun. Biar saja. Biar dia beri pelajaran suaminya!

"Hei! Kamu ngga papa, kan?"

"Ngga papa, sih, om. Asal nanti om ngga jadi belok aja setelah sekamar sama saya" jawab Agus asal.

"Najis! Ngapain saya belok gara-gara kamu? Badan kamu aja bulet, lembek begitu! Masih kekaran juga badan saya" katanya pongah bertolak pinggang.

"Oh, jadi om sukanya sama yang kekar-kekar, ya?" Agus mengangguk-anggukan kepalanya pelan, tampak menikmati menggoda ayah dari orang yang disayanginya.

"Mulut kamu memang mau saya timpuk, ya?"

Tbc.

Ig: catypattinson10

HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang