Bab XVI. Titik Balik

2.3K 330 10
                                    

Mempunyai sepupu-sepupu yang sangat amat lebih kompeten dalam banyak hal acap kali membuat Athania merasa ciut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mempunyai sepupu-sepupu yang sangat amat lebih kompeten dalam banyak hal acap kali membuat Athania merasa ciut. Membuat gadis itu terus menerus merasa dirinya penuh akan kekurangan. Meski berusaha bagaimanapun juga, entah kenapa dirinya tak pernah bisa menyaingi segala prestasi para sepupunya. Seakan Athania sudah tertinggal jauh, sangat jauh sampai-sampai untuk melihat bayangan para sepupunya saja Athania tak mampu.

Lalu, ketika sudah mengejar ketertinggalan yang jauh itu, rasa lelahnya sama sekali tak terbayarkan. Walau sudah berprestasi sekalipun, tetap saja masih terasa kurang dan memalukan. Jika dibandingkan dengan prestasi para sepupunya, maka prestasi yang diraih Athania bukanlah apa-apa.

Karena bagi kakeknya, seorang Dierja Bratadikara, Athania harus menjadi nomor satu untuk bisa dan patut dibangga-banggakan saat makan malam keluarga. Mendapatkan nomor dua atau nomor tiga? Tidak berarti apa-apa. Seorang Dierja Bratadikara merasa nomor dua dan nomor tiga hanya untuk para pecundang. Jika dalam kompetisi, Dierja menganggap hal tersebut sama saja dengan kalah.

Dan saat kekalahan itu terjadi, Athania hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri. Bahwa ia kurang berusaha lebih keras. Bahwa ia terlalu merasa cepat puas. Padahal nyatanya, masih banyak hal yang belum benar-benar ia kejar.

"Medali perak? Kamu pikir seorang Bratadikara butuh sebuah medali perak? Medali emas. Itu yang kakek butuhkan. Malu-maluin saja kamu. Nggak anak nggak ayah sama-sama nggak bisa dibanggakan. Didik yang benar anakmu itu!" teriak Dierja pada Arjanya di tengah makan malam keluarga.

Athania tak sengaja menceritakan bahwa ia mendapatkan medali perak dalam olimpiade Matematika, sebab sepupu-sepupunya tampak penasaran dan ingin Athania menceritakan pengalaman olimpiade pertamanya tersebut. Namun alih-alih senang mendengar cerita cucunya yang saat itu berusia 6 tahun, Dierja malah membentak dengan wajah penuh amarah seolah Athania baru saja mengatakan kalimat tak sopan.

Sejak saat itu, tak peduli sebanyak apapun prestasi yang Athania dapatkan, jika bukan berada di posisi nomor satu, maka harus gadis itu sembunyikan mati-matian agar Dierja tak tahu. Rasanya Athania takut, merasa malu, dan tak berguna. Gadis itu terus berusaha lebih keras dalam belajar. Jadwalnya sangat padat, guru-guru les privat didatangkan setiap harinya. Arjanya juga selalu mewanti-wanti Athania untuk mendapatkan nilai bagus di seluruh mata pelajaran.

Rasanya seperti tercekik. Athania merasa seperti terkurung dalam sebuah sangkar dan merasa sesak setiap harinya. Padahal, ia hanya ingin seperti kebanyakan anak SD biasanya yang bisa bermain bersama teman-temannya dengan bebas. Bukannya harus berkutat dengan belajar, belajar, dan belajar. Mau menyerah dan protes pun Athania tak bisa, karena Arjanya selalu berkata bahwa semuanya demi kebaikan Athania sendiri.

Dan ketika gadis itu beranjak menginjak usia 7 tahun. Athania bermain catur sebagai pengisi kebosanannya sesudah belajar. Lambat laun gadis itu mulai menyukai catur. Sebab baginya, hanya permainan catur yang diperbolehkan Arjanya untuk Athania mainkan. Hanya catur yang tidak Arjanya larang. Dan saat Athania meminta seorang guru privat catur untuknya, Arjanya pun tampak tak keberatan dan justru mengiyakan.

How To Fix Everything [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang