Bab XXVI. Ambisi

2K 273 12
                                    

"Mana nilai quiz kamu?" Arjanya berdiri di depan pintu kamar Athania, menodong putrinya itu dengan tatapan mengintimidasi sekaligus mengancam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mana nilai quiz kamu?" Arjanya berdiri di depan pintu kamar Athania, menodong putrinya itu dengan tatapan mengintimidasi sekaligus mengancam. Lelaki paruh baya tersebut bersedekap dada. "Bisu kamu? Papa tanya, di mana nilai quiz kamu?" Arjanya menaikkan nada pertanyaannya tersebut satu oktaf.

"Nilai quiz?" Athania membeo kebingungan, lantaran sama sekali tidak siap akan kehadiran Arjanya yang tiba-tiba menodongnya di depan pintu kamar.

"Quiz matematika, Athania!! Papa dengar bahwa minggu kemarin kamu sudah melaksanakan quiz matematika. Mana hasilnya?" Arjanya menengadahkan dan mengulurkan tangannya ke arah Athania dengan tidak sabaran, sesekali berdecak tak sabaran.

Athania hanya bisa termangu selama beberapa saat. Sial. Arjanya tak akan senang jika mendengar Athania tidak mendapat nilai sempurna pada quiz kali ini. Dan itu artinya, tamat sudah riwayat Athania. "Pa...." lirih gadis itu, terlanjur tidak tahu harus bagaimana lagi.

"Mana, Athania!!"

Athania terlonjak saat itu juga, mendengar bentakan keras keluar dari mulut Arjanya dengan suara lantang. Gadis itu meneguk salivanya kasar sebelum kemudian bergumam pelan, "Ada di kamar."

"Bawa ke sini," tuntut Arjanya cepat. Mengetuk-ngetuk kakinya di lantai dengan tidak sabaran. Bola mata Arjanya bergerak untuk menunjuk pintu kamar Athania, seolah memerintahkan gadis itu untuk cepat masuk dan membawa nilai quiznya ke hadapan Arjanya.

"Tapi...." Melihat reaksi putrinya, Arjanya menghela napas. Lelaki paruh baya itu berdecak pelan. "Dapet berapa kamu? Kecil?" tebaknya. Yang sialnya tepat sasaran.

"Sembilan puluh empat," cicit Athania dengan suara kecil.

"Sembilan puluh empat? Siapa yang nilainya paling besar di kelas?"

"Itu...."

"Siapa?!" Arjanya berteriak marah. Habis sudah riwayat Athania sekarang. Ia tidak akan bisa mengelak. "Renjana," jawab gadis itu dengan setengah terpaksa.

"Kamu itu apa susahnya dapat nilai sempurna? Mentang-mentang akhir-akhir ini Papa jarang mengawasi kamu, kamu jadi seenaknya begini. Papa sudah bilang kan, walau kamu merasa sudah pintar sekalipun, kamu harus tetap belajar."

Athania menunduk malas, enggan untuk mendongak dan menatap netra ayahnya. Apalagi mendengarkan kata-kata Arjanya. Athania terlalu malas dengan sesi ceramah yang pasti berujung menyebalkan. Kadang Athania bingung, kenapa Arjanya seolah merasa putrinya itu selalu kurang akan banyak hal. Tanpa mau bercermin sedikitpun. Apa Arjanya berpikir dirinya sempurna? Tidak. Jauh dari kata sempurna.

"Papa ini lagi pusing, Athania. Rumah sakit perlu diurus, belum lagi perusahaan. Papa nggak ada waktu ngurusin kamu. Belajar mandiri. Belajar yang rajin, jangan musti diawasin dulu baru nurut."

"Mau berakhir jadi orang bodoh kamu?! Iya? Kamu itu satu-satunya harapan Papa. Berhenti main-main, kamu sekolah untuk belajar. Ngerti?" Athania hanya mengangguk cepat sebagai balasan, tidak berniat melawan sedikitpun. Gadis itu hanya berharap semua ini cepat selesai.

How To Fix Everything [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang