32. Minta Nomor

21K 2.2K 205
                                        

Hanna kira Jeff bakalan masuk kampus keesokan harinya. Tapi ternyata enggak. Kata Deril, cowok itu gak masuk tanpa alasan yang jelas. Jeff cuman ngasih tahu Deril buat titip absen doang, gak ada embel-embel lain.

Yang Hanna gak tahu, Jeff masuk setelah tiga hari bolos. Cowok itu sengaja tidak menemui Hanna dengan menghampiri Fakultas Psikologi karena—heck, ngapain juga nyamperin Hanna? Mereka udah gak ada hubungan apa-apa sekalipun jelas, dari hati Jeff yang paling dalam, cowok itu juga punya kangen.

Jeff mengajak Deril untuk bertemu di kantin jurusan pada pukul setengah sebelas siang karena mereka berdua emang gak berada di satu kelas pada hari Kamis pagi. Jujur, Jeff ngerasa aneh balik ke kampus tanpa ngelihat muka Hanna karena biasanya kegiatannya ngampus adalah sepuluh persen buat menuntut ilmu, sembilan puluh persen buat ngebucin. Tapi ya udah, Jeff juga gak tahu lagi kudu gimana ngadepin masalah yang dia punya sama Hanna.

Dia duduk di hadapan Deril yang lagi asik makan mi ayam. Cowok yang berstatus sebagai teman dekatnya itu mengangkat alis karena merasa diperhatikan Jeff.

"Ape lo? Baru nongol setelah tiga hari ngilang malah melototin gue."

"Mata gue bengkak, gak?" tanya Jeff.

"Kagak. Napa? Abis nangisin Hanna?"

Deril emang belum tahu apa yang terjadi di balik permasalahan antara Jeff dan Hanna. Yang ia tahu cuman luarnya doang alias mereka lagi berantem dan katanya lagi, mereka udah putus. Tapi Deril gak tanya lebih lanjut, sih.

"Kagak, anjing. Ya kali gue nangis."

"Terus?"

"Kagak tidur gue semaleman."

"Mikirin Hanna?"

"Dikit."

"Halah."

"Dia nyariin gue ke elo?" tanya Jeff kemudian. "Eh, eh, Mbon!" panggilnya kepada salah satu cowok yang baru saja melewati meja Jeff.

Cowok berkulit petang itu menoleh dan ngedatangin Jeff.

"Tolong pesenin gue mi soto, dong, di Ibuk. Sekalian rokok. Bilang aja taruh nota dulu. Gue bayar nanti."

Ambon mengangkat jempolnya lalu pergi dari sana, menuruti perintah Jeff.

"Dia nyariin gue, gak?" tanya Jeff mengulang.

"Iyalah."

"Tanya gimana?"

"Ya gitu, anjing. Lo dimana, lo kenapa gak kelas. Gitu-gitu."

"Mukanya kayak gimana?"

"Muka siapa?"

"Muka Hannalah!" Jeff berdecak. Kenapa juga Deril jadi lola begini?

"Oh," Deril meringis. "Ya gitu. Matanya bengkak. Kebanyakan nangis, tuh, pasti. Dia nyariin lo dari dua hari yang lalu, nying."

Jeff menarik nafas dalam. Merasa sesak luar biasa mendengar berita itu. Cowok itu mengacak rambutnya gusar. "Sumpah gue gak ngerti harus gimana."

"Lo mau gue kasih saran?"

Jeff mengangkat kepala. Bersiap mendengarkan nasihat yang akan diberikan Deril. "Apa?"

"Cerita dulu, lah, Ogeb. Gue belum tahu lo sama dia kenapa, ya kali udah bisa ngasih saran."

Jeff menipiskan bibir, menahan diri biar gak mengumpat.

Sebenarnya, dia juga kepingin cerita ke Deril. Minimal dia gak bingung sendirian harus gimana sama hubungannya dengan sang pacar—ralat, mantan. Apa lagi orang tuanya juga udah gak bisa ngasih saran selain Jeff disuruh ikhlas dengan perpisahan mereka. Ya elah, mana bisa?

jeff, please.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang