30. We Are Over

22.4K 2.7K 404
                                    

ini pendek bgt, mon maap hehe.

**

—Jeff's Point of View

Gue gak pernah kehilangan kesabaran sebanyak ini sebelumnya. Hanya karena nunggu Hanna keluar dari kamar mandi, rasanya kayak setahun sendiri. Jadi di detik kemudian saat gue sadar pintu akhirnya terbuka, gue langsung menatap Hanna dingin dan berjalan mendekat.

"What is this?"

Gue ngelempar kartu berwarna biru langit di tangan ke tengah ranjang.

Hanna mengernyit bingung, "What?"

Cewek itu mengambil duduk di tepi ranjang, mengambil KTPnya. Gue bisa menemukan tangannya yang langsung tegang dan kaku sebelum menoleh ke gue pelan.

Right.

Dia kaget.

Dia kaget karena gue udah tahu.

"Jeff..."

Tapi gue bahkan gak begitu peduli lagi dengan rintihan kecilnya saat memanggil nama gue.

"Lo udah nikah, Han? Really?"

Tatapan nyalang, mata memerah, tangan terkepal. Dia seharusnya tahu kalau detik ini gue sangat marah. Gue marah besar.

Oh, tentu saja.

Emangnya apa respon yang tepat setelah tahu kalau selama ini gue punya pacar yang diam-diam udah nikah? What the actually heck. Dia kira ini lucu?

Gue tertawa. Ngetawain nasib gue yang tiba-tiba dijungkir balik sebegininya.

"Selama ini gue macarin istri orang? Selama ini gue tidur sama istri orang, Han?"

Demi Tuhan, gue udah berusaha sekeras mungkin untuk gak terdengar dingin dan membuat Hanna takut. Gue gak mau tergesa mengambil asumsi, gue mau ngomong dengan Hanna pakai kepala dingin. Tapi sekali lagi, mana bisa?

Hanna menggeleng, nyalinya terlihat menciut. Matanya sudah basah.

Gue tahu cewek itu kaget. Dia shock karena selama kita dekat sampai kita pacaran, gue gak pernah semurka ini. Jangankan murka, marah aja jarang.

Hanna berdiri. Mengambil tempat di hadapan gue dan berujar, "Jeff, please, you can sit down first and be chill—"

"Chill lo bilang?! Lo nyuruh gue chill sedangkan KTP lo udah ngomong semuanya?"

Gue bersumpah mata gue memanas. Menatap cewek gue penuh amarah.

"Han, segoblok apa gue di mata lo sampai-sampai berbulan-bulan kita bareng, gue baru tahu sekarang? Lo kira ini lucu?" gue menghela nafas. Ingin rasanya mendaratkan bogem mentah kepada siapapun untuk meluapkan emosi. "I am your doll, right?"

"No, Jeff. Enggak gitu..." Hanna menangis. Cewek itu meneteskan air matanya. Hati gue nyeri ngeliat itu.

"Terus gimana?! Kita udah bareng berapa lama, sih, Han? Hm? Baru sehari? Seminggu? For God's sake kita hampir setahun! Setahun gue jadi orang tolol dengan ngebiarin lo mainin gue. Gue buka lebar-lebar hidup gue biar elo bisa masuk dan tinggal disana dengan nyaman, sedangkan elo?"

Gue mendongak, mencoba menghalau air mata yang tiba-tiba memaksa keluar. Shit, udah lama rasanya gue gak pernah nangis dan berhadapan sama masalah segede ini.

"Ini rumit, Jeff..." suara cewek itu putus-putus. Dengan takut-takut, Hanna mendekat. Ia mencoba memegang lengan gue tapi gue milih mundur selangkah. "Ini rumit. Ini gak segampang gue bisa cerita ke elo and everything gonna be fine. It's not that easy...."

"Lo tahu kenapa elo bisa bilang ini gak bakalan mudah sedangkan elo belum nyoba bicara ke gue? Itu karena elo emang gak pernah punya kepercayaan buat gue! Elo gak pernah mau percaya sama gue! Lo gak pernah bener-bener sayang ke gue like you said lately!"

Gue meneriakinya. Gue luapin semua emosi gue detik ini.

I tell you.

Cowok paling benci diragukan. So am i. Gue benci saat gue menemukan Hanna gak punya kepercayaan sama besarnya kayak apa yang gue punya.

Dari awal kami bersama, dia selalu menyembunyikan semuanya sendiri. Like i'm not her boyfriend, kayak gue bukan orang yang cukup berhak untuk tahu tentang masalahnya, hidupnya, semuanya.

"That's not true! Lo gak akan ngerti!"

"Kalau gitu buat gue ngerti!"

Gue jelas gak mau kalah.

Dia teriak, gue bisa teriak juga. Disini Hanna yang salah, dan gue gak mau jadi Jeff yang kayak dulu—yang selalu ngalah, yang selalu mencoba mengerti perasaannya. Well, Hanna juga gak mau ngertiin perasaan gue, right?

Kita sama-sama berteriak satu sama lain. Gak peduli kalau ini udah tengah malam, atau tetangga kamar kanan dan kiri gue yang bisa aja keganggu dan kebangun, gue gak peduli. Kita gak peduli.

Fakta bahwa Hanna udah nikah dengan laki-laki yang gue gak tahu siapa —sangat-sangat melukai hati gue. Juga harga diri gue. Gue sayang dia, semua orang bisa tahu itu, tapi nyatanya Hanna gak cukup baik untuk mau tahu setulus apa gue sama dia.

Episode-episode selama kami bersama hampir satu tahun ke belakang ini rasanya musnah begitu saja karena apa yang tertera pada kartu identitasnya. Gue ngerasa dipermainkan. Gue sakit hati dan gue gak terima.

"You such a good liar, Han. Lo penipu."

Kalimat itu terdengar jahat.

Tapi gue nekat mengeluarkannya. At least sebutan itu yang sedari tadi ada di pikiran gue kala Hanna tak kunjung menjelaskan apapun, seakan-akan tatapannya udah menjelaskan semuanya—kalau status di KTP yang gue liat tadi adalah hal nyata dan benar.

Dia gak mau menjelaskan apa-apa lagi.

"Apa yang bakal terjadi kalau gue gak nemu KTP lo hari ini? Lo masih akan mainin gue, kan? Lo masih akan nutupin semuanya. Lo bakal berlagak kayak single lady yang narik perhatian cowok-cowok diluar sana—God damn it," Gue tiba-tiba mengumpat kala satu ingatan berhasil masuk ke otak gue. "Sekarang gue bener-bener ngerti kenapa elo gak mau orang tahu kita pacaran."

Seperti puzzle-puzzle yang awalnya tak terbentuk dengan baik dan pecah kemana-mana, kini mereka bisa menyatu. Gue bisa merangkai pecahan demi pecahan yang selama ini gue hadapi sama Hanna. Nyatanya emang ini akarnya. Inilah awal mulanya.

Gue mengambil nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan emosi yang masih mendidih. Gue gak bisa lebih lama disini. Semakin lama gue mengambil waktu untuk bertatapan dengan raut wajah bersalah dan pipi yang basah milik cewek yang sialnya sampai detik ini masih jadi pemilik hati gue, yang ada gue makin marah dan sakit.

Tanpa berusaha menatap wajahnya lagi, gue mengambil jaket di atas meja lalu berniat pergi dari sana.

"I'm outta here. Lo bisa nempatin kamar ini selama yang lo mau. Gue gak akan balik lagi."

Cewek itu mencegah tangan gue yang hendak meraih gagang pintu. "Apa... apa maksud lo?"

"Apa lagi?" Gue menatapnya dingin. "We're over, Han. We are really over."

Han, gue gak bisa lagi.
























end atau to be continued nieeee?

jeff, please.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang