39. Fakta

26.6K 2.6K 373
                                    

Jeff Raksakatama's POV

"Pesen aja. Bill on me." kata gue ketika sosok yang gue tunggu akhirnya dateng juga. Mengambil duduk tepat di hadapan.

"Langsung aja. Mau ngomong apa?"

Gue yang baru mau menyelipkan batang rokok di antara bibir jadi mengurungkan niat.

Buset, gak bisa sabaran banget, dah, ini orang.

Gak mau mendengarkan, gue memilih tetap menyalakan pemantik rokok untuk membakar ujung nikotin lalu menghisapnya, menatap tenang pada Gana yang balas ngeliatin gue sama malesnya.

Sabar, Jeff, sabar. Jangan kebawa emosi dulu biar bisa rencana lo berjalan lancar.

Jadi sebenernya, apa yang membawa gue dan Gana duduk berdua di salah satu kafe didominasi warna cokelat kayu ini adalah karena gue kehilangan cara lagi buat nemuin Hanna. Tiba-tiba aja udah satu minggu berlalu sedangkan gue belum mendapat kemajuan apapun. Jadi akhirnya gue inistiatif ngajak Gana buat ngomong. Atau mengorek informasi, lebih tepatnya.

Asli, gue gak pernah seribet ini perkara ngejar cewek. Baru Hanna doang.

"Apa kabar luka lo? Sempet masuk rumah sakit, gak?"

Gue memilih membuka percakapan dengan sedikit basa-basi sambil mengedikkan dagu ke arah wajah Gana yang sama babak belurnya kayak gue.

"To be honest, muka lo lebih parah, sih. Jadi stop basa-basi. Gue gak punya waktu banyak buat ngomong sama lo."

"Kenapa? Lo mau mati emangnya sampai gak punya waktu banyak?" jawab gue tapi dalam hati.

Jadi yang keluar dari bibir gue sebenarnya adalah, "Oke, oke, sori. Gue mau ngomongin soal Hanna, ofcourse."

Pandangan Gana berubah jadi menyelidik.

"Gue mau minta maaf sama dia. Iya gue tahu gue goblok banget karena baru sadar sekarang padahal masalahnya udah dari jaman kapan. Tapi jujur, awal tahu masalah itu, gue kalut dan gak bisa mikir, terus baru sadar juga pas kemaren kita gelut di kantin," gue berusaha tenang walaupun jantung gue agak deg-degan soalnya takut Gana gak mau bantuin. Jangan sampai pertemuan kali ini sia-sia karena gue udah kehabisan cara. "Gue pengen memperbaiki hubungan sama Hanna. Tapi sebelum masuk ke tahap sana, gue butuh tahu apa yang disembunyiin Hanna dari gue."

"Hanna sama gue sahabatan dari lama. Lo pasti udah tahu itu, kan? Gak mungkin Hanna gak cerita."

Gue mengangguk. Gana menolehkan kepala dan menatap gue serius. Gue jadi ikut menegakkan duduk, siap memasang telinga baik-baik.

"Dia sering ke rumah gue. Orang rumah pada familiar sama Hanna karena—yah, kita emang sering main bareng. Sampai tiba hari dimana Hanna nangis dan cerita kalau dia lagi hamil. Dia diperkosa. Sedangkan gue gak pernah tahu dia lagi deket sama siapa."

Nafas gue tiba-tiba tertahan. Ada emosi yang meminta diledakkan begitu mendengar kalimat itu. Ini Hanna bukan sengaja main, man. Dia diperkosa.

"Gue paksa dia ngaku, dong, siapa yang ngelakuin. Terus dia jawab," Gana terlihat meneguk ludah. "Genar. Genar yang merkosa dia."

Ngelihat gue dengan dahi mengernyit, Gana segera melanjutkan. "Genar itu kakak gue."

"Anjing."

Gue gak bisa menahan hasrat untuk mengumpat. Kaget, marah, semua bergumul jadi satu. Gila, ini gila.

"Posisinya, Genar sama Hanna gak pernah punya hubungan, gak pernah saling naruh perasaan. Itu pure karena Genar emang bajingan. Hanna nangis, hampir ngegugurin kandungan sampai mau bunuh diri karena dia gak tahu harus gimana. Genar gak cuman ngambil virginity-nya, tapi juga bikin dia sampai hamil di usia muda. Gue paham gimana frustasinya Hanna. Tapi gue minta dia buat bertahan, buat nge-keep kandungannya. Gue juga bakal bantuin ngomong soal itu ke bonyok gue, terus—ya jelas dipaksa nikah. Singkatnya, kakak gue meninggal satu hari sebelum pernikahan karena dibunuh temennya."

jeff, please.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang