41. Additional Chapter #1

33.4K 2.6K 278
                                    

"good byes are bittersweet."

**

Jeff Raksakatama's POV

Empat tahun berlalu dengan gak mudah tanpa Hanna.

Setelah malam dimana Hanna nyuruh gue mundur, jangan dikira gue gak berusaha setelahnya. I did. Tapi sama sekali gak membuahkan hasil.

Deril bilang, gue berubah 180 derajat semenjak hari itu. Katanya gue kayak zombie, gak punya gairah hidup. Gak kaget, gue tahu gue begitu. Kehilangan Hanna artinya gue kehilangan tujuan, kehilangan semangat, kehilangan salah satu alasan untuk bahagia. Gue gak ngerti harus apa. Jadi yang gue lakuin setiap hari cuma dua : pagi di kampus, malam di kelab. Begitu terus sampai tiga bulan kemudian. Itu pun karena gue masuk rumah sakit dengan diagnosa hati gue bermasalah.

"Kemampuan hati dalam memproses alkohol sangat terbatas. Ini adalah akibat karena kamu mengkonsumsi lebih dari yang bisa diolah oleh tubuh. Organ hati kamu mengalami gangguan."

Itu yang gue inget dari kalimat dokter beberapa tahun lalu.

Gue terkekeh sinis. Dokter botak itu gak tahu aja kalau tanpa kebanyakan minum alkohol, Hanna adalah penyebab kenapa hati gue mengalami gangguan.

Selain masalah kesahatan, gue juga harus berhadapan dengan bokap yang marah-marah karena gue musuhin orang rumah. Well, gimanapun gue masih marah atas kelakuan bokap ke Hanna dulu. Jadi setelah Hanna ngajak gue pisah, gue mutusin buat beli apartemen, meninggalkan kos penuh kenangan dengan cewek itu, lalu tinggal di apart baru tanpa ada satu kalipun keinginan menjenguk ke rumah Papa dan Mama.

Baiknya, lima bulan setelah itu, gue baikan sama mereka. Papa meminta maaf atas perbuatannya, mama ikutan membujuk, lalu akhirnya gue mengangguk dan berusaha memperbaiki hubungan kami. Hanya saja gue masih menolak pulang ke rumah dengan alasan gue lebih nyaman tinggal sendiri.

Banyak hal yang terjadi setelah Hanna pergi, apa lagi hari ini udah tepat empat tahun lamanya. Baik dan buruknya gue tanggung semua.

Walaupun gue masih beberapa kali papasan sama Hanna pas di kampus dulu, kita sama-sama gak pernah bertegur sapa. Seolah gak pernah ada 'Jeff dan Hanna'.

Gue menerima semua hukuman dari dia. Egois kalau gue memaksa dia buat kembali sama gue setelah apa yang telah terjadi. Jadi cara terbaik untuk menebus itu adalah dengan merelakan dia pergi meski tahu itu gak akan mudah.

Bahkan sampai di hari kelulusan, gue masih suka mengamati Hanna diam-diam, mencari tahu kesibukan apa yang lagi dia tekuni, dan memastikan dia baik-baik aja.

Seperti gue yang gak pernah berminat buat menjalin hubungan dengan cewek lain, Hanna juga begitu. Ini adalah salah satu alasan gue bersyukur mati-matian karena dia belum menemukan pengganti.

Tapi semuanya berubah saat dia diterima di salah satu perusahaan ternama Jakarta. Menurut informan terpercaya gue, Hanna mendapatkan posisi sebagai Talent Acquisition disana. Gue ikut bangga dan bahagia atas berita itu. Sayangnya, satu tahun berada disana, dia dikabarkan dekat dengan salah satu rekan kerjanya. Gue hanya tersenyum sendu saat mendengar itu. Gak lama setelah itu pula, gue denger dia membeli sebuah rumah mewah di dekat lokasi kerjanya.

See?

Tanpa gue, Hanna jauh lebih bahagia. Hidupnya sekarang sempurna. Pekerjaan dengan gaji gak main-main, rumah dan mobil mewah, sampai pria yang mampu meyakinkan Hanna untuk kembali berkomitmen, Hanna punya semuanya.

Dan gue masih disini.

Gak ada artinya gue dan jabatan Government Relations Officer yang gue punya dan apapun kesuksesan yang gue raih di usia 25 ini tanpa kehadiran Hanna.

jeff, please.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang