23. Good Mood

27.7K 2.8K 364
                                    

Mata Bella melebar kaget, begitu pula dengan teman jangkung di sampingnya. "Hah? Pacar?"

Jeff ketawa pelan. "Hahaha, bukanlah. Bercanda gue. Dia mah cuman temen." lanjutnya dengan menekankan bagian dua kata terakhir. Bikin mata Hanna langsung menyorot tajam ke cowok itu, dengan alis terangkat tinggi tak terima.

"Ya, kan, Han? Kita temen doang, kan, Han?"

Hanna tak menjawab. Tapi decakan kesalnya terdengar. Tak butuh waktu lama akhirnya cewek itu beranjak dari kursi dan pergi dari sana. Jeff langsung panik sendiri. Apa lagi Hanna jalan cepet banget kayak vampir. Akhirnya tanpa pamitan ke Bella dan anteknya, dia langsung pergi. Baru dua langkah doang, dia langsung balik cuman buat noleh ke Bella. "Dia beneran cewek gue, kok."

Selesai ngomong gitu, dia langsung lanjutin nyari Hanna. Yang mana cewek itu gampang banget ditemuin. Ternyata Hanna lagi berdiri di samping mobil Jeff. Cowok itu perlahan mendekat. Dia baru mau nyentuh pundak Hanna tapi cewek di sana udah noleh.

"Bukain pintunya." titah Hanna sambil ngeliatin Jeff datar.

Jeff mengangguk menurut. Melakukan sesuai perintah Hanna.

"Lo ngambek?"

"Gak."

Jeff mengambil nafas dalam. "Ngambek kenapa lo?"

"..."

"Karena gue foto sama Bella tadi?" Jeff diam sebentar, mengamati perubahan ekspresi wajah perempuan di sampingnya. "Atau karena gue bilang ke dia kalau elo cuman temen gue?"

Mata Hanna memicing, kini mau menghadapkan badannya ke Jeff sepenuhnya. "Gue tahu. Tadi lo cuman manas-manasin gue, kan?"

Jeff mengangguk santai. "Emang. Terus elo panas, kan? Berarti cara gue berhasil, kan?"

"Fuck it, Jeff. Elo dan semua sifat playboy lo bikin gue muak."

"Atau elo jealous?"

"Gue? Cemburu? Sama lo?" Hanna menyeringai geli. "Mimpi."

"Oh, kalau gitu seharusnya lo biasa aja, dong, tadi? Gak perlu cabut dari sana cuman gara-gara gak terima sama omongan gue." Jeff menyerongkan badannya. "Han, lo tuh munafik tau, gak."

Hanna menatap Jeff tajam. Tapi cowok itu gak peduli.

"Elo selalu bilang enggak di saat sebenernya hati elo bilang iya. Lo gak suka denger gue ngakuin kalau kita cuman temenan. Tapi lagi-lagi elo gak mau ngaku. Padahal apa susahnya ngomong jujur?"

"Fine. Gue marah. Gue marah karena elo—dengan seenak jidat—deketin anak orang padahal jelas-jelas lagi sama gue. Gue gak butuh ngebawa lo kesini cuman buat liat lo nunjukkin kemampuan lo ngerayu cewek! Elo ngakuin gue jadi temen—"

"Honey," sela Jeff. "Gue hanya ngelakuin seperti apa yang lo lakuin ke gue. Lo ngakuin gue sebagai temen ke semua orang? Gue juga bisa. Lo mesra sama Gana sama ini sama itu? Gue juga bisa. Lo tahu? Kita berdua sama-sama pemain hebat, Han. Apa yang lo lakuin, gue juga bisa lakuin. Persis."

"Bajingan."

"That's my middle name," Jeff menjawab. "Tapi di antara kita, elo juga tahu siapa yang gak munafik disini. Kalau gue sayang sama lo, gue bilang. Gue pengen kita jadi lebih dari temen, gue bilang. Why won't you do the same?"

"Karena gue gak suka—"

"Lo bohong!" Jeff memotong. "Lo cuman gak mau ngaku kalau lo suka sama gue."

Hanna terdiam. Bibirnya terkatup rapat.

"Apa? Masih mau denial?" Jeff menyerongkan tubuhnya, membuat posisi mereka berdua sama-sama berhadapan di sempitnya ruang dalam mobil. Mata Jeff menajam, menatap Hanna tak takut. "Lo gak capek apa, Han, kita sering berantem karena satu hal yang sama? Gue sayang lo, apa semua yang gue lakuin selama ini belum cukup bikin hati lo nerima itu? Kalau elo gak terima gue ngerayu cewek lain, elo tahu kan artinya elo kenapa?"

jeff, please.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang