40. Hope It's Worth It

31.9K 2.7K 476
                                    

Jamie Miller - Here's Your Perfect

**


Jeff Raksakatama's POV

Kalau ngelihat di luar sana banyak orang yang punya strict parent, gue sebenernya sangat-amat bersyukur karena nyokap dan bokap gue gak pernah menuntut sesuatu kepada gue, juga ngelarang untuk ini dan itu.

Bokap adalah orang yang tegas dan disiplin, tapi karena dia bucin sama nyokap yang orangnya agak nakal pas jaman kuliah dan gak bisa diposesifin, perlahan bokap jadi bisa paham kalau anaknya juga gak bisa dipaksa memilih. Dua kenyataan ini berlaku dari jaman gue baru lahir. Sayangnya gue jadi ragu tentang itu semenjak Gana membawa nama bokap ke hubungan gue sama Hanna.

Jam udah menunjukkan pukul setengah delapan ketika gue sampai di rumah bokap. Gak ada kejanggalan sejak gue baru masuk rumah. Tapi semuanya berubah ketika mama mulai sadar kalau gue lagi mode serius dan gak berminat basa-basi lebih banyak lagi.

Gue mengabaikan nyokap yang kelihatan udah ketar-ketir karena aura tegang di meja makan. Mata gue menatap luru ke arah bokap, sedangkan bokap cuman menyeduh tehnya dengan santai.

"Papa gak nyangka kamu tiba-tiba pulang ke rumah begini sambil nunjukkin muka kecut." ujar bokap kemudian.

"Aku juga gak nyangka Papa bisa ngelakuin hal selicik itu," balas gue.

Bokap ngangguk-angguk mulai paham apa yang gue bicarakan.

"Jadi dia ngadu ke kamu?"

Well, ngeliat dari ekspresi nyokap, gue tebak dia juga udah tahu soal apa yang dilakuin bokap ke Hanna.

"Enggak, Hanna gak pernah ngadu ke aku." jawab gue. "Aku gak bisa basa-basi, Pa. Straight to the point, kenapa Papa bisa-bisanya ngerendahin Hanna kayak gitu? Aku emang marah sama Hanna kemarin-kemarin, tapi bukan berarti Papa bisa ikut campur sama urusan aku."

"Papa ngelakuin itu juga buat kebaikan kamu."

"Aku hargain niat baik Papa buat ngebelain aku. Tapi Papa juga tahu, kan, kalau masalahku sama Hanna jelas bukan ranah Papa buat ikut ngerecokin. Papa gak tahu apa yang sebenarnya terjadi," gue mengerang frustasi. "Hanna gak bersalah, Pa. Dia ada di titik sekarang bukan karena perbuatannya. Tapi Papa dateng dan bikin semuanya makin kacau."

"Jeff," nyokap manggil. "Kamu udah baikan sama Hanna?"

"Ya gimana mau baikan, Ma, kalau Papa aja nyuruh dia buat gak lagi berurusan sama aku?"

Papa tetep diem. Dia cuman jadi pendengar tanpa mau membuka suara lagi. Gue kenal bokap dengan baik. Dia selalu tenang dan kalem walaupun di otaknya lagi memikirkan banyak hal. Seperti apa yang terjadi di detik ini.

Kemudian Papa baru buka suara. "Papa hafal soal kamu. Kamu anak Papa. Kamu gak pernah memutuskan sesuatu kalau emang kamu gak yakin. Lalu dengan keputusan kamu berpisah sama dia, papa tahu—"

"Artinya Papa juga tahu, kan, kalau apa yang aku lakuin saat ini juga karena aku udah yakin sama keputusan aku?" sela gue cepat. "Kayak yang Papa bilang, aku gak pernah memutuskan sesuatu kalau belum beneran yakin. Kali ini juga sama, Pa. Aku udah tahu semuanya dan udah ambil waktu banyak untuk mikir panjang. Hanna cuman korban dan apa yang aku tuduhin ke dia selama ini itu salah."

"Terus kamu maunya gimana?"

"Aku mau ngembaliin situasi kayak semula."

Bokap menatap gue tajam. "Masih mau ngeyel dengan merjuangin perempuan yang cuman maunya morotin kamu?"

jeff, please.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang