19. Serangan

281 97 1
                                    

Suara ledakan yang begitu keras telah mengagetkan mereka semua. Secara refleks mereka mencari ke sumber suara dan melihat rumah kakek yang hancur.

"Rumahku!" teriak Kakek lalu berlari. Meninggalkan Jaden yang gagal menumpulkan konsentrasi gara-gara suara itu.

Ternyata seseorang memasang bom di dekat rumah Kakek. Sekarang rumah itu hancur berkeping-keping termasuk benda-benda yang ada di dalamnya. Mata Kakek berair, melihat tempatnya berteduh kini hancur.

"Hanya tempat ini yang aku punya," monolog Kakek. Dari belakang, seseorang datang dan memegang bahu Kakek. Noah. Sekarang ia tak bisa berkata apapun.

"Aku memiliki anak, memiliki cucu, tapi mereka tak pernah datang untuk menjengukku. Mereka menelantarkan ku. Meninggalkanku sendirian di tepi hutan yang begitu sepi dan gelap ini. Sekarang seseorang menghancurkan rumahku, apa yang aku miliki? Keluarga tak ada, harta tak punya." ucapnya. Ia tak kuasa menahan air matanya.

Noah yang mendengar itu bisa merasakan rasa kesedihan Kakek. Lelaki itu pun memeluk Kakek dan tanpa sadar ia juga menangis. "Kakek memiliki kita. Kakek bisa menganggap kita anak dan cucu Kakek. Kita sekarang adalah keluarga." kata Noah.

Kakek terus saja menangis di bahu Noah. Membuat bahu lelaki itu basah. Tapi tak apa, sekarang yang penting adalah Kakek yang harus tenang. "Di rumah itu ada foto mendiang istriku. Senyum cantiknya tak pernah luntur di foto itu. Sekarang tak ada lagi cara agar aku melihat senyumannya yang indah itu," gumam Kakek.

Banyak kenangan antara dia dan mendiang istrinya di rumah ini. Tapi dengan teganya seseorang mengebom rumah Kakek.,

"Siapapun dia, berapapun usianya, sekaya apapun dia, atau bagaimana parasnya, aku mengutuknya tak bisa bicara, tuli, buta, dan lumpuh seumur hidup!" Kakek mendongak. Meminta pada langit untuk memberi kutukan pada orang itu.

Bukannya mengabulkan permintaannya, langit malah mendung dan suara gemuruh datang. "Hujan, kita tak memiliki tempat untuk berteduh." ujar Kakek menundukkan kepalanya.

"Eits.. Kakek melupakan cangkir kesayanganku? Semuanya sini berkumpul." sahut Felix. Mereka semua mendekat ke arah Kakek.

Felix menaruh cangkir itu dan entah menyentuh apa, cangkir itu membesar. Sebesar rumah Kakek. Sekarang mereka takkan kebasahan.

"Bagaimana kau bisa?" tanya Noah.

Felix tersenyum, "Aku melihat buku yang ada di dekat pintu. Aku membaca judulnya dan membukanya. Kegunaan cangkir ini ada dua. Selain untuk menahan lawan, kita bisa membuatnya membesar jadi tempat berteduh. Tapi tak bisa menyediakan fasilitas yang biasanya ada di rumah." jawabnya.

Noah menepuk jidatnya, bagaimana bisa ia melupakan hal ini? Tapi, tak apa.

Mereka duduk di tanah. Noah terus mengelus bahu Kakek agar lebih tabah menghadapi rumahnya yang hancur di bom.

Mata Jisung yang tajam dengan cepat menyadari kalau baju putih Noah jadi warna merah, dan cairan berwarna merah menetes. "Noah, tangan mu terluka?" tanya Jisung.

Noah membuka baju lengannya dan memperlihatkan luka yang memanjang. "Tadi saat aku sedang ada di belakang rumah dan menjauh menghindari bom, tak sengaja serpihan kaca yang tajam dari pisau mengenai tanganku, tapi tak apa." jawab Noah.

Jisung jadi sedih melihatnya. Noah berkata seperti itu seakan-akan kalau itu memang tak menyakitkan, tapi itu sangat sakit. Lecet sedikit saja kalau diobati kadang sampai meringis, sekarang luka yang memanjang itu..

Ah sudah lah, Noah kan kuat.

"Kira-kira siapa yang mengebom rumah ini?" tanya Danny sambil memegang dagunya, ceritanya ia sedang berpikir.

Namun kepalanya didorong ke depan oleh Hyunsuk, "Ya tentu saja musuh kita, bodoh."

"MUSUH KITA KAN BANYAK!"

Jlegur!

"Tak boleh berteriak, nanti kau mau tersambar petir dan gosong?!" ancam Hyunsuk dan menarik tangan Danny agar kembali duduk.

"Mereka beneran kayak adik-kakak, berantem mulu hahaha." batin Winter.

Apakah ia tak menyadari kalau dirinya dan Arthur juga sedikit ada kemiripan?


×××


Di pagi hari dalam cangkir dengan ukuran yang begitu besar, mereka semua terbangun karena merasakan getaran yang begitu hebat. Felix keluar dengan cara mengangkat cangkir itu sampai setinggi dirinya, kemudian cangkir itu mengecil.

Getaran itu terus terasa sampai api yang besar muncul dengan tiba-tiba diantara mereka, membuat mereka semua terpental jatuh ke belakang.

"Serangan ini.."

Jaden mengeluarkan panah dan menembak tanah yang ada di bawah api, dengan cepat api itu membeku.

Detik berikutnya panah itu menghilang saat tangan Jaden turun. "Kalian semua tak kenapa-kenapa?!" tanya Jaden.

Semua orang berdiri dan mengangguk. "Kami semua tak apa-apa." jawab Mamo.

"Mamo, bawa kamu ke rumah Keita." titah Noah.

"Kalian semua beres-beres, bawa barang ajaib kalian," perintah Noah. Semua orang membawa tasnya yang sudah berisi barang ajaib milik mereka.

Terkecuali Jisung. "Kak! Meja ini besar dan berat, bisa-bisa tanganku patah nanti saat tiba di rumah Keita," adu Jisung.

Kakek menghampiri Jisung. Tongkat yang ia pegang dihentakkan ke tanah dan meja itu mengapung lalu berubah menjadi kecil, seukuran gantungan kunci. Mereka mematung melihat itu. Jadi.. tongkat yang selama ini dipegang oleh Kakek itu bukan tongkat biasa?

"Nanti saja Kakek ceritakan pada kalian, sekarang kita berlindung dulu di tempat rahasia Keita. Es yang membekukan api itu mulai mencair."

Kakek terlihat bersedih, rumahnya akan segera menjadi abu. Tak satu pun foto dan barang-barang pemberian mendiang istrinya. Yang tersisa hanyalah kenangan indah berakhir menyakitkan untuknya.

Setelah semua selesai dengan urusannya, mereka pun pergi mengikuti kemanapun Mamo berlari. Eee.. tidak kemanapun, ke rumah Keita. Maksudku, mereka ikut ke arah mana Mamo berlari untuk sampai ke rumah Keita.

Tiba-tiba saja pagi ini mereka diserang. Mereka belum menyiapkan apapun. Bahkan tak sedikit dari mereka yang belum pandai menguasai benda itu, kalau tak pandai, besar kemungkinan benda itu akan menyakiti pemiliknya sendiri.

Kakek dan Noah jauh tertinggal di belakang, lelaki itu tak bisa membiarkan Kakek yang sudah tua berlari. Tenaganya tak sekuat dulu, badannya kurus, rambut beruban, ah Noah tak bisa.

Sebelas Robot PelindungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang