36. Kematian

312 80 0
                                    

Holland yang nafasnya tak teratur menoleh pada Kakek, ia membantu Kakek duduk dan melihat kondisinya.

"Serangan Arnius tak digunakan untuk orang lanjut usia, kenapa ia selalu melanggar peraturan?" tanya Holland. Ia menatap Kakek khawatir.

"Arata! Kau memilih anakmu tetap hidup tapi kembali bersamaku atau anakmu mati saat kau masih di pihak Holland?!" tawar Arnius.

Mereka semua kaget mendengar Arnius berkata seperti itu.

"Lo udah berani pisahin mereka yang bahagia, sekarang dipertemukan lagi cuma buat jadi sandera? Otak lo di mana?!" tanya Inhong yang sudah tersulut emosi.

Jaden berpikir, kira-kira apa yang harus dilakukannya untuk mengambil anak-anak Kakek dari sisi Arnius. "Tuan—"

"Jika kau ada niatan untuk memindahkan anak-anak Arata dari sampingku, aku bunuh anak-anak Holland dan anak Noah." potong Arnius.

PLAK!

Winter mengibaskan tongkat lipstiknya, seketika Arnius tersetrum. Saudaranya yang lain membawa anak Arata ke sebelah mereka. Arnius, ia terduduk sambil berteriak kesakitan.

Winter berjalan maju dan menodongkan tongkat lipstiknya tepat dihadapan wajah pamannya. Kalau gadis itu didorong dari belakang, tongkat tersebut akan mengenai Arnius dan membuat wajah pria itu gosong.

"Berdiri kalau lo orang kuat," ujarnya. Yang lain menatap Winter dengan tatapan kaget. Mata mereka tak berkedip dan mulutnya menganga lebar.

Arnius tak kunjung berdiri. Winter dibuat geram olehnya, ia sedikit lebih memajukan tongkat lipstik itu dan berucap lebih tegas, "GUE BILANG BERDIRI! Ngerti bahasa gak lo?!"

Holland berjalan menghampiri anaknya dan menyeretnya ke belakang untuk sejajar dengan saudara-saudaranya. "Arnius bukan lawan kamu," ucapnya.

Winter mendengus, "Bukan lawan? Betul. Kita lebih kuat dari Arnius, si tua itu takkan bisa mengalahkan kita."

"Pada akhirnya, kebaikan akan selalu menang." lanjutnya. Ia berpaling dari wajah tampan ayahnya dan menatap Arnius yang berusaha berdiri.

Arnius mengucapkan mantra dan tangannya dijulurkan ke langit, mantra tersebut diucapkan begitu kencang. Holland yang tahu manfaat mantra itu langsung mendorong kakaknya.

Sayang seribu sayang, langit menggelap, petir menyambar, dan terdengar suara teriakan banyak orang tapi tak satupun dari mereka terlihat wujudnya. Penduduk Distopia langsung merasa ketakutan.

Jaden menatap tajam ke arah langit, tangannya bersiap untuk mengeluarkan pedang, panah, atau pelindung. "Apa itu?" monolognya. Ia menyipitkan mata, di atas sana terlihat sebuah benda berukuran panjang dan.. lancip.

"Sialan," ucapnya. Jaden mengeluarkan pelindungnya untuk mereka semua. Benda-benda lancip itu langsung turun dengan cepat, tak satupun diantara benda-benda itu mampu menusuk pelindung kuat ini.

Ketika pelindung mulai hilang, Holland membantu dengan pelindung mantra. Pelindung yang ukurannya lebih besar dan kuat. Tangan lelaki itu bergetar.

"Tuan.. kenapa?" tanya Noah.

"Aku.. merasa dejavu." ucapnya.

Holland menutup matanya agar pelindung mantra tersebut lebih kuat, tangannya diusahakan tak bergetar. Tapi percuma, ia terus mengingat masa lalunya.

Kakek mengerti itu, ia menghela nafasnya dan berdiri dibantu dengan tongkat yang ia pakai. Sebelas anak manusia itu menoleh disertai sepuluh robot lain ketika langkah Kakek terdengar.

Langkahnya begitu pelan, tangannya bergetar dan mata nya menatap sendu ke arah Holland. Tongkatnya diangkat dan ditancapkan ke tanah. Duri-duri tajam itu keluar dari sana dan mengelilingi Arnius.

Kakek menoleh pada mantan bosnya itu dan berucap, "Dari dulu aku ingin membunuhmu, Arnius. Aku sangat membencimu. Pikiran jahatku masih terbang ke sana kemari hingga aku memiliki pikiran untuk membunuh Noah, namun aku tak bisa."

Masih ingat dengan Noah yang melarikan diri dari markas karena CL—ibu tirinya? Kemudian Noah berhenti entah dimana, di tempat yang indah dan berubah menjadi tempat menyeramkan kala Noah hampir mati.

"Sekarang, dengan seluruh tenagaku yang tersisa, aku membunuhmu. Mengusirmu dari dunia Holland, dunia manusia, dan seluruh alam semesta." Segera setelah mengucapkan hal itu, duri-duri tiba-tiba muncul dari bawah tanah yang dipijak oleh Arnius.

Lelaki itu menunduk panik. Wajah paniknya berubah menjadi tatapan licik, ia menjentikkan jarinya dan ia terbang. Ia turun dengan kecepatan yang begitu cepat dan mengarahkan pedangnya pada Arata.

PRANG!

Kekuatan Arnius berhasil memecahkan pelindung itu, pelindung Jaden yang sudah melemah pun menghilang begitu saja.

Satu sentimeter lagi pedangnya menyentuh Kakek, niatnya terhenti karena Jaden menahan lelaki itu dengan pedangnya. "Berani menyentuhkan pedang itu pada Kakek, aku akan menusukkan pedang ini ke tubuhmu."

Arnius tertawa, "Benarkah? Tusuk saja."

Jaden menonjok wajah Arnius hingga lelaki itu melayang bebas di udara. Sorot matanya menandakan kemarahan besar, bunyi dari sistem terus terdengar olehnya.

Cuaca mendung, membuat Jaden susah untuk menghemat daya. Dayanya sedikit cepat berkurang. Sekarang ia merasa marah. Tentunya tambah cepat dayanya berkurang.

JLEB!

Teriakan seorang perempuan menggelegar ke seluruh penjuru dunia, dunia yang sedang sunyi ini diramaikan oleh teriakan kesakitan dari tiga orang perempuan. Kakek mengenal suara ini, ia berjalan ke arah tiga putrinya yang kepalanya bercucuran darah.

Di atas kepalanya itu terdapat panah dengan racun yang langsung membunuh target. Mereka semua membelalakkan mata melihat itu.

Robot-robot yang sedang merentangkan tangan melindungi orang-orang yang berperan langsung berlari dan melihat apa yang terjadi.

Kakek berteriak, hatinya sangat sakit melihat tiga putrinya yang belum mendapat pelukan darinya malah meninggal dengan cara seperti ini. Tangan keriput Kakek bergerak membuka lakban, ia ingin mendengar suara putrinya untuk terakhir kali.

"Ayah.. maafkan kami," lirihnya. Air mata mengalir deras dari si sulung, ia menatap sang ayah dengan tatapan penuh rindu. Ingin bermanja seperti dulu.

Kakek menggeleng, "Aku takkan memaafkan kalian kalau kalian tak mau bertahan untuk hidup. Bisakah?"

Nafas mereka mulai tak teratur. Anak tengah menggelengkan kepalanya, "Kami tak bisa. Ku mohon maafkan kami agar kami bisa pergi dan tidur dengan tenang."

"Kalau ketenangan itu bisa membuat kalian tetap hidup, aku akan memaafkan kalian. Tapi kalau tak bisa, aku takkan pernah melakukannya. Dulu kalian memilih untuk mempercayai bosku, sekarang saat kita dipertemukan kembali, kalian hanya minta maaf tanpa meminta apapun dariku. Dimana anak kalian? Dimana suami kalian?" jelas Kakek.

Tetes demi tetes air mata jatuh ke tanah. Gemuruh mulai terdengar, air dari langit turun seakan mereka merasakan kesedihan yang dialami pria tua ini.

Sebelas Robot PelindungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang