"Terima kasih." Seorang gadis pergi dari tempat fotokopian sekaligus tempat jasa print sambil membawa map.
Malik yang merupakan pemilik tempat itu mengangguk sembari tersenyum ramah. "Sama-sama."
Pria itu menengok ke belakang pada Egi yang duduk di depan komputer. Ia menggeser kursi lain agar dekat dengan posisi Egi, kemudian mendudukinya.
"Ada apa kamu kemari?" tanya Malik.
Setelah lama berkutat dengan pikirannya, Egi menoleh ke Malik. Ia bercerita tentang kejadian kemarin saat menjenguk Gina. Malik mendengarkan dengan seksama. Tak lama itu Egi bertanya soal pakaian serba hitam yang membuat Gina histeris.
"Saya juga. Pas jenguk dia, saya juga kaget tiba-tiba Gina teriak ngelihat saya pake pakaian item," pungkas Malik. "Aneh."
Egi mengangguk, setuju dengan perkataan Malik. Ia juga merasakan keanehan itu. Jika memang gangguan jiwa yang dialami Gina disebabkan oleh kematian Cesa, lalu ada apa dengan pakaian serba hitam?
"Kalo boleh tau, tanda-tanda gangguan yang dialami Tante Gina ini mulai kapan?" tanya Egi.
Malik tampak mengingat-ingat. "Seinget saya kalo gak salah sekitar empat sampai lima hari." Helaan napas berat keluar dari mulutnya. "Setelah mendapat kabar dari sekolah."
Terlihat sekali bahwa pria paruh baya itu berusaha bersikap tegar ketika mengingat putrinya. Egi merasa bersalah, namun ia terpaksa melakukan ini. Untuk mencari petunjuk dan mengumpulkannya menjadi satu. Kejanggalan ini perlu diselidiki.
"Pertama kali denger kabar itu, istri saya langsung syok. Dia sedih banget, sampai-sampai gak mau makan." Malik tersenyum miris kala mengingatnya.
"Saya coba menasehati Gina. Saya bilang ke dia, kalo kamu gak mau makan, Cesa bakalan sedih di atas sana. Dia malah bilang pengen nyusulin Cesa ke sana. Tapi, saya langsung menyentaknya. Kalo kamu mati, kamu gak akan tau siapa pelaku yang membunuh Cesa," seloroh Malik.
"Setelah itu, Gina mulai menjalankan aktivitasnya kembali. Ya meskipun rasa sedih itu masih ada. Apalagi mayat Cesa belum bisa dibawa pulang. Karna proses penyelidikan belum selesai," pungkasnya.
Egi merenung sejenak. Lalu ia bertanya, "Apa saat itu sudah muncul tandanya?"
Malik menggelengkan kepala. "Belum. Awalnya itu, Gina menjadi sangat pendiam. Bahkan waktu saya bertanya atau ngajak ngobrol, dia tetap diam saja. Pandangannya yang kosong, membuat saya khawatir."
"Perlahan, saya menyadari kalo itu merupakan tanda-tanda stres. Semakin hari tambah parah. Gina sering histeris dan tiba-tiba menangis. Saat saya menenangkannya, dia malah berontak dengan menggigit tangan saya. Bahkan pernah menodong saya dengan gunting. Sering juga dia meracaukan hal-hal yang menurut saya aneh."
Kalimat terakhir yang diucapkan Malik sukses membuat Egi penasaran. "Hal-hal aneh seperti apa?"
Malik mengingat-ingat. "Laki-laki itu pembunuh. Dia membunuh perempuan. Laki-laki itu sangat kejam. Dia psikopat."
Sontak Egi tercengang.
"Pertama dengar itu, saya ngira ini ada kaitannya dengan pelaku yang membunuh Cesa. Bahkan saya lapor ke polisi. Waktu bertanya pada istri saya mengenai laki-laki yang dia maksud, dia malah histeris," ungkap Malik sembari menyentuh kepalanya yang terasa berat.
Egi seolah mendapat 1 keping puzzle. Ia harus menemukan kepingan-kepingan yang lain untuk menyelesaikan puzzle itu.
***
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Saat ini, Shelina dan Gavin berada di pantai. Keadaan pantai cukup sepi, mengingat bahwa langit malam sebentar lagi akan datang. Hanya sedikit pengunjung yang ada, kebanyakan dari mereka adalah para remaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
DARK MEMORIES
Fiksi Remaja[HIATUS] Kecelakaan mobil yang dialami Shelina membuat sebagian ingatannya hilang. Tentang siapa yang menabraknya belum terungkap sampai saat ini. Akibat kecelakaan itu, Shelina kehilangan Ayahnya. Terlepas dari semua itu, Shelina kembali menjalani...