#3

13 8 0
                                    

Aarav bukan tipikal kakak yang sangat sayang adik sampai bisa memanjakannya. Bukan juga tipikal kakak jahil yang akan terus mengganggu Sang adik hingga ia menangis, atau mungkin kakak yang suka mengajak gelut 24/7.

Tidak.

Aarav ini tipikal kakak biasa-biasa aja. Perhatian seadanya, jahil seadanya. Yang ada pada Aarav hanya apa adanya, kecuali parasnya.

Kakaknya itu mungkin tipikal penyabar. Saking sabarnya, ia tidak pernah menaikkan intonasi saat amarahnya memuncak. Aarav lebih memilih berdiam diri dan memeluk Sang adik jika adik itu tengah melakukan kesalahan.

Lantas saat mendapati Aarav membentaknya kemarin menjadi hal baru untuk Ais. Karenanya, Ais memilih mengurung diri di kamar. Berpura-pura sudah berangkat sekolah, padahal nyatanya ia masih bergelung di bawah selimut.

Semangat hidupnya hilang sejak kemarin. Tidak ada yang Ais butuhkan selain tidur sebagai pelariannya.

Pukul 10.15, Ais baru beranjak dari tidurnya. Duduk di depan meja makan dengan wajah bengkak khas bangun tidur.

Ais menguap besar, matanya tertutup rapat. Hanya hening yang menemani Ais kala itu sebelum tiba-tiba telinganya menangkap suara gelas yang di simpan tepat di depannya.

"Adek sakit?"

Ais membelalakkan matanya kaget. Nyawanya seakan dipaksa untuk terkumpul dan dampaknya, jantungnya berdetak kencang saat mendapati Aarav duduk di kursi seberang.

Melipat tangan di depan dada, menyorotnya dalam diam. Dalam balutan kaos hitam kakaknya, kenapa Ais tidak pernah berhenti untuk tidak terkejut melihat ketampanan Sang kakak? Bahkan setelah hidup bersama selama 17 tahun.

"Adek sakit?" Aarav kembali mengulang pertanyaannya disaat mata Ais masih menatap dengan mata melotot.

Aarav menghela nafas. Memilih mendekat dan menempelkan punggung tangannya pada dahi Sang adik.

"Loh? Beneran sakit? Panas, loh, dek. Ke rumah sakit aja, ya? Sekalian abang juga pengin jagain Anis."

Ais mendengkus. Menepis tangan Sang kakak sembari berkata, "gak usah. Adek di rumah aja." Begitu katanya.

"Yakin? Nanti tambah parah, gimana?"

"Dibawa tidur juga entar mendingan sendiri. Abang ke rumah sakit aja, Kak Anis kayaknya lebih butuh abang, deh."

"Bener juga." Aarav mengangguk di akhir kalimatnya. Tanpa sadar, kakinya berputar arah menuju kamarnya, meninggalkan Ais yang menghela nafas kasar.

Ais tidak pernah suka dengan sensasi yang sedang perasaannya ini keluarkan. Sensasi cemburu yang selalu muncul ke permukaan sering kali membuat Ais ketar-ketir sendiri, takut ketahuan Sang kakak kalau ia punya perasaan selain adik kepada seorang kakak.

"Berangkat dulu, ya, dek. Kalo butuh sesuatu telpon abang aja."

Ais menoleh dan mendapati Aarav sudah rapi dengan bajunya. Kakaknya itu mendekat, meraih tubuhnya lalu mencium pucuk kepalanya dengan kesan tergesa.

"Cepet sembuh, dek." Tak ada jawaban yang Ais berikan. Satu kalimat, pun, bahkan dalam hatinya sekalipun.

Sistem saraf dan kinerja otaknya seakan sedang bekerja sama untuk memperlambat respon yang harus Ais berikan. Terlalu banyak yang Ais sayangkan sebelumnya, sampai pada akhirnya ia hanya bisa berucap setelah kepergian Aarav.

"Jangan pergi bisa gak, bang?" lirih Ais.

°°°

Tidak ada makan, tidak ada minum, sejak Aarav menghilang dibalik pintu, Ais memilih kembali tidur sepanjang hari hingga malam akhirnya menjemput.

Love Line || Jung Jaehyun [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang