#5

11 10 0
                                    

Naven ini bisa dibilang tidak terlalu akrab dengan Ais. Kapasitas berinteraksi mereka juga lumayan minim.

Kalau boleh dibilang, Naven baru benar-benar mengajaknya berinteraksi duluan saat ia sedang terjebak diantara dua sejoli yang lagi kasmaran, Aarav dan Anis.

Ais pikir, Naven ini tidak banyak tingkah. Belum kenal, Naven sangat sopan padanya. Saking sopannya Naven padanya, setiap kali mereka berpapasan yang terjadi selalu hanya sekedar melempar senyum dan sedikit mengangguk.

Tapi saat Naven tiba-tiba mengirimkan chat tempo hari, Ais sadar Naven sama tengilnya dengan Marfin.

Setelah mengenal lebih dekat sosok Naven, Ais tidak pernah bisa benar-benar mengerti jalan pikiran cowok itu. Tingkahnya terlalu sering mengejutkan orang.

Seperti pagi ini, teman kelasnya itu secara mengejutkan sudah nangkring di depan rumahnya. Duduk di atas motor dengan cengiran lebarnya.

Lambaian tangannya membuat Ais buru-buru keluar rumah dengan rusuh. Bagaimana tidak, jangankan sepatu, kaos kaki saja belum terpasang dengan benar.

"Ngapain di sinㅡ loh, Kak Anis? Nungguin abang, ya?"

"Iya, Yis. Eh, katanya kamu sakit, ya, kemarin?"

"Ah, enggak, kak. Oh iya, kak Anis gimana? Maaf, ya, kak, gara-gara Ayis, Kak Anis jadi masuk rumah sakit. Sekali lagi maㅡ"

"Buruan, Yis. Entar kita telat, heh!" Naven turun dari motornya. Menarik tangan Ais untuk lekas bergerak.

"Iya, iya ih. Tunggu bentar kenapa, sih? Sepatu sama kaos kaki gue aja belum gue pasang." Ais menarik kembali tangannya dengan wajah kesal.

Naven menarik tangannya tidak main-main. Kuatnya bisa membuat Ais limbung ke depan kalau saja Naven tidak berdiri di hadapannya.

"Buruan, nyeti. Lama bener pake sepatu doang padahal," ucap Nave diakhiri decakan pelan.

"Masih ada waktu 35 menit buat masuk sekolah, ya. Gak usah sok gak pernah telat masuk kelas. Udah, ayo." Ais menepuk pelan rok bagian belakangnya.

Berbalik badan bermaksud ingin pamit, Ais sudah menemukan Anis berada di dalam rumah.

Dari luar begini, Ais bisa melihat Aarav dan Anis sedang bercengkrama dari balik jendela.

Ingin pamit, Ais tidak ingin mengacaukan pembicaraan mereka. Di sisi lain, Ais merasa ada yang hilang saat ia tidak menyalami kakaknya itu.

Maka keputusan Ais adalah, "Naven," panggilnya.

Cowok itu berdehem dengan kedua alis terangkat. Tak kunjung Ais mengutarakan maksud, Naven menghela nafas. "Kenapa lagi lo?"

"Tangan lo, Ven."

"Hah? Buat?"

Ais menyodorkan tangannya. Semakin dilanda kebingungan, semakin dalam pula kerutan di dahi cowok itu.

"Cepet, ih! Gue pengen salim!" Ais berdecak saat ia mendongak, yang ia dapati justru tampang melongo teman kelasnya itu.

Iya, sih. Idenya ini memang sangat konyol. Tapi mau bagaimana lagi? Untuk hari ini, Ais gak apa-apa.

Ais meraih tangan Naven yang berada di sisi tubuh. Menyentuhkan punggung tangan Naven pada dahinya selayaknya ia sedang salim kepada kakak sendiri.

Tapi berbeda dengan Naven, cowok itu seketika menarik cepat tangannya. "GILA LO? KALO ADA YANG LIAT GIMANA? LO MAU KITA DIKATAIN PASUTRI BARU?!"

"IH YAUDAH, SIH, GAK USAH NGEGAS, BISA?!"

"Ada apa ini? Kok ribut-ribut?"

Keduanya memalingkan wajah. Secara kompak mengeluarkan nafas dengan keras.

Love Line || Jung Jaehyun [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang