#8

10 10 0
                                    

Aarav berdiri dari duduknya dengan kaget. Setelah menerima pesan singkat berisi, Ais mau ke luar negeri, sukses membuat Aarav kembali dirundung gelisah.

Di liriknya jam di tangannya yang menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

"Anis," panggil Aarav sembari berjalan menuju dapur rumah Anis.

"Kenapa, Rav?"

"Aku pulang sekarang, gak pa-pa, kan? Ada hal mendesak yang harus aku selesaiin di rumah." Aarav menatap Anis yang bungkam.

"Kamu ... gak pa-pa, kan, sendirian di rumah?"

Setelah beberapa detik hanya hening, Anis baru menatapnya dengan seulas senyum di wajahnya. Dan mendapatkan satu anggukan cukup untuk membuat  Aarav bergegas keluar menuju mobil.

Kepalanya bekerja ekstra. Apa yang harus ia lakukan agar Ais tidak ke luar negeri? Bukannya Aarav egois dengan melarang Ais ke luar negeri, tapi Aarav tidak boleh membiarkannya. Kalian tidak akan mengerti.

"Ayis, lo kenapa, sih?" Aarav menghembuskan nafas berat. Tangannya memegang setir dengan kuat.

"Gue harus apa biar lo mau bertahan?"

Sayangnya, hanya hening yang menjawab pertanyaannya.

Ada satu hal gila yang ia pikirkan. Cara untuk bisa membuat Ais tidak jadi ke luar negeri.

Ide gila yang terbesit di otaknya untuk mengantarnya membawa mobilnya berjalan di atas rata-rata. Menyalip setiap mobil di depannya hanya untuk mendapati semua kendaraan membunyikan klakson padanya.

Sampai pada titik perempatan yang berada di depan mata, kecepatan laju mobilnya semakin bertambah dan berakhir mendapati mobilnya sudah ditabrak oleh mobil lain dari sisi kiri.

Berhasil, ada usaha yang tidak berakhir sia-sia.

°°°

Bunda dan Marfin sudah pulang sejak sejam yang lalu.

Tidak ada yang spesial selama pembicaraan. Hanya bincang santai mengenai Ais dan bagaimana sekolahnya.

Keputusannya sudah bulat, Ais memilih melanjutkan sekolah di luar negeri. Tepat setelah hari kelulusannya, ia akan langsung terbang ke Kanada.

Padahal saat bincang-bincang tadi, Ais berharap Aarav juga ada di antara mereka. Ais ingin kakaknya itu juga ikut berdiskusi bagaimana baiknya ia saat bersekolah di luar negeri.

Ais ingin Aarav memberinya nasihat. Kiat-kiat agar tetap bisa belajar dan membagi waktu selama ia tidak berada di dalam rana pantauan kedua orangtua maupun Sang kakak.

Yah, apa yang bisa Ais harapkan? Kakaknya itu pasti tengah bersama Anis, lagi. Tiada hari tanpa menghabiskan waktu bersama Anis.

Ais tersenyum getir. Menarik selimutnya hingga sebatas dagu. Matanya menatap langit kamarnya, membayangkan bagaimana nasibnya saat berada di Kanada nanti seorang diri.

"Gak pa-pa, Yis. Kalo lo pergi, perasaan lo juga pasti bakal hilang dimakan waktu. Semuanya ini tentang waktu doang, lo cukup tunggu aja kapan lo bisa move on. Iya, kan?" Ais kembali mengulas senyum getir.

Belum sempat menutup mata, suara Sang mama begitu rusuh memanggil namanya dari luar sembari menggedor pintu kamar cukup kuat.

Ais buru-buru membuka pintu. Dan yang ia dapati, Sang mama sudah menarik bahunya kencang untuk di peluk.

"Sayang, abang kamu..." Gumaman mama terdengar diantara isakan tangis yang keluar.

Ais tertegun, tidak membalas pelukan Sang mama.

Love Line || Jung Jaehyun [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang