#39

2 0 0
                                    

Sejujurnya, Ais tidak pernah berniat untuk kembali. Apalagi kembali ke tempat yang telah menorehkan banyak luka.

Kenangannya, Ais tidak pernah bisa untuk melupakan. Semua kejutan bersama dengan rasa sakit itu seperti baru kemarin ia alami. Padahal nyatanya, sudah 4 tahun terlewati, dan Ais masih bisa merasakannya dengan jelas.

Kalau dulu, saat masih menjadi remaja labil, Ais mungkin bisa saja mencemooh dirinya yang sekarang. Mencemooh betapa berlebihannya ia mengenai patah hati, ah, lebih tepatnya mengenai cinta.

Bagi perempuan yang pernah atau sedang mengalami patah hati, berjuang untuk sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan, atau mungkin mencintai dalam diam, Ais mengerti perasaan yang tengah kalian rasakan.

Buktinya, Ais masih belum memaafkan semua skenario takdirnya itu.

Dalam hati sering kali berbisik, kenapa harus dirinya yang merasakan? Kenapa Tuhan menakdirkan hal ini?

Ais tidak pernah menemukan jawabannya sampai sekarang.

Naas sungguh naas, Ais harus kembali menginjakkan kakinya di tanah kelahiran.

Jika bukan karena orangtuanya, Ais mungkin tidak akan pernah melihat tanah kelahirannya itu lagi.

"Hei, ngelamun aja?"

Kepala Ais menoleh ke samping dan mendapati Marfin tengah menelisik wajahnya dengan raut khawatir.

Seakan Marfin mengerti, tangan kembarnya itu menggenggam tangannya erat. Katanya, "gue di sini, kalau-kalau lo lupa, Yis." yang cukup untuk membuat Ais merasa tenang hingga sampai ke tempat tujuan.

°°°

"Gak banyak yang berubah?" Ais menatap ke seluruh penjuru ruangan bersama kakinya yang melangkah menyusuri.

Bingkai yang terpajang di ruang keluarga masih sama seperti terakhir kali. Tidak ada satupun debu yang melengket. Kacanya masih mengkilat, cukup untuk membuat Ais menarik seulas senyum.

"Mama Fara kenapa mutusin buat balik ke sini?" kepala Ais berputar, menatap ke arah Marfin yang duduk santai melepas penat.

"Hm?" kepala Marfin mendongak lalu menunduk sebentar untuk mengetik sebelum hpnya ia masukkan ke dalam saku jaket. "Katanya, sih, cara satu-satunya rasain kehadiran lo ... ya balik ke rumah ini," begitu katanya diakhiri gedikan bahu kurang tahu.

Ais hanya mengangguk, lalu ikut duduk di dekat Marfin.

"Lo yakin mau hadir di persidangannya?"

"Emang itu, kan, niat gue balik ke sini? Setelah sidang, pelakunya juga udah di jatuhi hukuman, gue bakal balik lagi ke Korea."

"Yis, gak mau tinggal di sini aja?"

"Enggak. Di sini gak ada Kak Nanta,"

"Oke."

°°°

"Mama pulang cepet malam ini?" kata Ais sembari memeluk Sang mama dari belakang.

Rasa rindu itu tidak pernah hilang. Meski bukan mama kandung, bagaimana pun, dengan Mama Fara dan juga keluarga ini, Ais bisa merasakan apa yang dimaksud dengan keluarga utuh yang hangat.

"Iya, sayang. Setelah penyerahan bukti, gak lama lagi pasti beritanya mengedar. Ini aja mama mau buka tv buat liat beritanya."

Ais mengangguk tipis. Mulutnya berkata, "kayak artis aja sampe diberitain."

Keduanya mengambil duduk bersebelahan di sofa sembari menyalakan televisi.

"Ya harus, dong. Gimana, pun, dia itu pebisnis sukses yang namanya ada dimana-mana."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love Line || Jung Jaehyun [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang