#36

3 0 0
                                    

"Aarav." Anis melerai pelukannya. Menarik ingusnya yang turun, Anis berkata, "ayo putus." cukup untuk membuat mata Aarav membelalak.

"Kenapa? Aku ada salah? Aku lukain hati kamu? Kenapa? Kasi tau aku biar aku introspeksi diri, Nis."

Kekehan Anis mengudara. "Iya, kamu lukain hati aku. Kamu ada salah sama aku."

"Apㅡ"

"Tapi! Tapi, itu emang udah resiko yang harus aku dapetin. Waktu tau kamu suka sama Ayis, aku harusnya gak maksain keadaan. Waktu awal kamu siuman, disitulah awal mula kebohongan aku. Harusnya aku gak bohong sama kamu, sama Ayis dan semua orang." Anis meraih tangan Aarav yang memegang bahunya untuk ia genggam.

"Maaf, Rav, tapi kita sebenernya gak pernah pacaran. Dan aku tau kamu pasti udah dapetin memori kamu dari sejak tahun pertama Ayis pergi."

Aarav menatap Anis sendu. Saat ingin membuka suara, Anis sudah lebih dulu kembali berbicara. "Aku tau kamu banyak meluangkan waktu kamu demi cari satu informasi tentang Ayis, tentang masa lalu kamu, tentang kasus orangtua Ayis, aku tau semua tentang kamu, Rav. Tapi lagi-lagi aku memilih egois demi cinta aku yang jelasnya udah gak berbalas dan bodohnya aku masih berharap."

"Anis, gak gitu..."

"Bukan salah kamu, bukan. Dan karena aku juga anaknya lumayan egois, jadi gak ada yang salah di sini. Intinya mending sekarang kita akhiri semua ini. Aku gak mau jadi toxic di kehidupan kamu, dan aku mau kamu bahagia."

Saat Anis berdiri, Aarav pikir Anis akan mengusirnya. Tapi nyatanya, cewek itu justru menyuruhnya untuk menunggu selagi ia masuk dan mengambil sesuatu.

"Berkas ini isinya semua kejahatan papa aku." Katanya sembari menyodorkan satu berkas tebal.

"Apa?" Kening Aarav tentu mengernyit tidak mengerti.

Kepala Anis mengangguk. "Iya. Aku tau yang sebenernya. Aku tau fakta kalau papa aku pebisnis kotor, aku tau kalau papa aku pembunuh. Tapi papa buat satu kesepakatan sama aku. Aku dapat kamu dan papa gak masuk penjara." Senyum miris Anis terbit. "Tapi gak lagi. Aku udah capek bohong. Aku udah capek jadi jahat. Aku capek liat papa jadi orang yang berbeda, jadi orang yang terobsesi dengan uang dan menghalalkan segala cara."

Mendengar itu, Aarav menarik Anis masuk ke dalam pelukannya. Katanya dengan haru, "makasih karena udah jujur. Kamu hebat karena udah mau memotong tali keburukan yang menjerat kamu. Aku tau kamu emang orang baik, Nis. Terlepas dari apa yang udah kamu lakuin, kamu berhak bahagia setelah ini. Siapapun orang yng dapetin kamu nantinya, dia pasti bakalan beruntung."

"Yaudah, kamu aja orangnya. Biar kamu beruntung," kata Anis bercanda sembari melerai pelukan keduanya.

"Hari ini Arion bakalan ke Korea, kan? Susul, gih. Ikut sama dia buat cari Ayis."

Mata Aarav mengerjap kecil. Apa Arion memberitahu? "Kamu tau dari mana?" tanyanya, membuat Anis tersenyum aneh.

"Hp kamu aku sadap, hehe. Jangan lupa dibuka penyadapnya, ya!" Dan kalimatnya seaneh senyumnya.

"Hah?!"

°°°

Hari kelulusan Ais telah tiba. Meski tidak menjadi mahasiswi dengan IPK tinggi, Ais tetap puas dengan hasilnya.

Ais memasang senyum di wajahnya. Merangkul Marfin erat, berharap foto yang telah diabadikan ini bisa menjadi bukti kalau Ais memang sebahagia itu sekarang.

Setelah foto bersama Marfin, kini giliran Papa Sastra dan Mama Fara yang berfoto dengannya.

Kedua tangan Ais mengapit lengan kedua orangtua yang telah membesarkannya itu. Memasang senyum paling lebarnya, Ais sedikit bersandar pada pundak Papa Sastra.

Diingat-ingat, Papa Sastra yang paling sering mengambil raportnya di sekolah. Meski tidak bisa menjadi orangtua yang memamerkan prestasi anaknya pada orangtua lain, Papa Sastra selalu berhasil membuatnya bersyukur dengan nilai yang ia dapat.

Seperti sekarang, pria paruh baya itu memosisikan dirinya menghadap Ais setelah mengambil foto. Tersenyum sejenak sebelum akhirnya menarik Sang anak masuk dalam pelukannya.

"Anak papa hebat, udah lulus kuliah sekarang."

"Papa lebih hebat, karena papa udah mendidik Ayis sedemikian rupa dan buat Ayis bisa sampai di sini sekarang."

"Anak papa," kata Papa Sastra sembari semakin mengeratkan peluknya pada Sang anak tercinta.

"Mama boleh gabung? Hehe."

Ais menoleh ke arah mama, lantas terkekeh dan bersambutlah pelukan dari ketiganya.

Ternyata Ais salah. Tidak seharusnya ia pernah berpikir untuk melupakan keluarga yang telah membesarkannya. Rasanya akan sangat tidak tahu diri jika yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang dan setulus hati, justru mendapat imbalan dengan Ais yang memilih melupakannya begitu saja.

Setetes air mata Ais sempat terjun sebelum akhirnya dengan cepat Ais hapus. Ais melerai pelukan, dan berkata, "Makasih udah besarin Ayis kayak anak sendiri. Tanpa kalian, Ayis bukan siapa-siapa di dunia ini. Gak akan ada Ayis yang sukses kalau bukan karena kalian berdua."

"Iya, sayang. Loh, loh ... jangan nangis, ih! Udah, sekarang foto sama bunda sana. Terus lanjut ke nak Nanta. Dari tadi dia yang foto-fotoin kamu, loh, masa dia gak dapat bagian?"

Ais mengangguk selagi mulutnya mengeluarkan kekehan.

"Bunda..." katanya dengan rengekan manja yang bersambut pelukan hangat.

"Anak bunda, duh! Makin cantik aja, sayang. Muka kamu makin mirip mama kamu," kata bunda dengan mata berkaca-kaca.

Melihat itu, Ais dengan cepat menangkup kedua sisi wajah Sang bunda. Katanya, "gak boleh. Ayis tadi dilarang nangis, jadi bunda juga gak boleh nangis."

Semuanya terkekeh. Setelah itu, Ais memosisikan badannya menghadap bunda. Mengambil posisi memeluk dari samping dengan satu tangan, lalu tangan lainnya terangkat membentuk peace.

Marfin berinisiatif, mengambil kamera di tangan Nanta setelah Ais dan bunda berfoto bersama. "Kak, biar gue aja yang fotoin. Kak Nanta sana berdiri deket Ayis." Begitu katanya.

Sesuai instruksi, Nanta berdiri di dekat Ais meski dengan gelagat canggung. Dilihat oleh keluarga Sang kekasih tentu berhasil membuat jantungnya jadi berdegup gugup. Senyumnya pun jadi terlihat kikuk, tegap badannya terkesan kaku. Pemandangan yang cukup untuk membuat Ais terkekeh lantas menarik tangan Nanta untuk lebih dekat dengannya.

Tangan Ais sedikit menepuk punggung tangan Nanta. Katanya berbisik, "jangan kaku-kaku gitu, kak. Santai aja, kayak gak pernah foto aja sama gue."

"Beda, Yis. Lo gak paham sama situasi gue."

"Iya-iya, terserah." Ais memasang senyum lebar setelah Marfin memberi instruksi di depan sana.

Dan foto terakhir akhirnya selesai diabadikan.

°°°

"Darimana aja lo?"

Kepala Aarav menoleh ke arah Arion yang tengah berselonjor kaki di atas karpet.

"Hm? Gue abis keliling aja sih deket-deket sini. Siapa tau ketemu Ayis lagi jalan-jalan."

Dengkusan geli Arion terbit. Tak tanggung-tanggung, saking gemasnya dengan Aarav, tangannya ikut menjitak sayang kepala belakang temannya itu.

"Sekecil-kecilnya Korea di peta, lo kalo mau nemuin satu orang di sebuah negara juga bakalan susah kalo nyarinya deket-deket sini aja. Ayolah, Rav, lo kok makin bego, sih?"

"Lancar amat keknya ngatain gue. Yaudah, sih, gue kan tadi bilangnya 'siapa tau'. Gimana kalo takdir gue emang ketemu Ayis di deket-deket sini? Lagian lo mah gak ngerti namanya berharap sebuah garis cinta." Arion menggerak-gerakkan mulutnya, mengikuti Aarav berbicara tanpa suara.

Dan ledekannya berakhir kena pukul di betis oleh Aarav.

"Gue mau mandi dulu, gerah. Nala kalo mau keluar jalan-jalan, kasi tau gue, ya. Gue mau ikut, sekalian mengeksplor."

"Dora lo emangnya?"

"Titisan, sih."

"Si bego."

°°°

Love Line || Jung Jaehyun [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang