#26

3 2 0
                                    

Ais tidak berhenti mengulas senyum. Dari pantulan cerminnya, ia bisa melihat bagaimana wajahnya terus berseri dengan semburat merah yang tercetak samar di kedua pipinya.

"Gue jalan sama bang Aarav bukan sebagai kakak adek, tapi sebagai orang yang dijodohin? Aaaaaaa..."

Tangan Ais membekap mulutnya cepat. Takut kehisterisannya justru menarik perhatian Aarav. Tidak boleh ada yang tahu kalau dia sebahagia itu.

"Gak usah teriak juga kali. Gue kira tadi ada lumba-lumba jadi-jadian terdampar di rumah ini."

Hah, kecuali Marfin.

Mata Ais memicing, menatap tidak suka pada Marfin yang sudah rebahan di kasurnya sekarang ini.

"Kapan lo dateng?" kata Ais sembari mendekat ke arah Marfin.

"Sejak emm..." jeda, Marfin mengangkat tangan kirinya, memperhatikan pergelangan tangannya yang terbalut jam tangan. "Sekitar setengah jam yang lalu. Lo jadi ngedate sama bang Aarav?"

"Iya, Fin! Aduh, pasti muka gue sekarang udah merah banget, ya?" Senyum Ais tertahan, membuat Marfin mendengkus geli.

"Pantes aja lo kayak dukung gue sama Bang Aarav. Lo pasti juga udah tau kan sama fakta satu itu?"

"Udah bukan abang lo lagi. Sekedar informasi aja, sekarang gue yang jadi abang lo," kata Marfin yang dibalas Ais dengan dengkusan singkat.

Marfin memosisikan badannya miring menghadap Ais. Di perhatikannya kembarnya itu dari tempatnya. Matanya seakan menjelajah di wajah Ais.

"Gue dulu selalu berharap bisa kayak gini, Yis."

"Gini gimana?"

"Yah, semacam gue deket sama lo dengan status gue kembar lo, bukan sahabat lo. Tapi ternyata rasanya biasa aja, ya, gak spesial-spesial amat."

"Sialan!"

Cengiran Marfin terbit di wajahnya. Dengan cepat ia bangun dari baringannya. Mengambil duduk sila dan memeluk Ais yang tersentak kaget dengan tindakan tiba-tibanya.

"Lo tau gak kalo gue sayang banget sama lo?" lirih Marfin. Nadanya sarat akan sedih.

Tangan Ais terangkat untuk menepuk pelan kepala belakang Marfin. "Gue tau kok. Kalo lo gak sayang sama gue, lo pasti gak bakalan mau ada di deket gue selama ini, dan menjadi satu-satunya yang bertahan di hidup gue."

Ais membalas pelukan Marfin. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher kembarnya tanpa sadar kalau keduanya sama-sama meneteskan air mata saat itu.

"Thanks," lirih mereka berdua bersamaan.

°°°

"Seneng, gak, Yis?"

Ais menatap ke hamparan pantai di depan sana. Sejenak, semua yang ia alami akhir-akhir ini terangkat begitu saja.

Anggukan kepala Ais menjawab pertanyaan Aarav.

Diraihnya tangan Ais untuk ia genggam lalu berjalan mendekat ke pesisir pantai.

Rasanya menenangkan. Telapak tangan Aarav yang hangat berhasil membuat tangannya jadi ikut menghangat.

"Bang,"

"Hm?"

"Enggak, gak jadi." Senyum simpul Ais berikan untuk Aarav.

Ais diambang kebingungan. Haruskah ia jujur tentang perasaannya pada Aarav? Atau lebih baik menunggu waktu yang tepat?

Nyatanya Ais memilih menunda. Karena setelahnya ia menarik Aarav untuk bermain air.

Saling melempar air dan berakhir baju mereka sama-sama basah.

Love Line || Jung Jaehyun [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang