#22

3 5 0
                                    

Aarav menoleh ke seluruh penjuru ruang kantor milik Sang Papa. Sementara si pemilik ruangan sedang pergi menghadiri rapat dan meninggalkan Aarav yang sedari tadi gelisah ingin menanyakan suatu hal.

Masih dengan kalimat terakhir Sang Papa.

'Keputusan' seperti apa yang ia buat sampai membuat Papanya menyesal?

Aarav bangkit dari duduknya. Mendekat ke meja kerja Sang papa dan memperhatikan papan nama yang tersimpan rapi di atas meja.

Sastranagara.

Lengkungan kedua sudut bibir Aarav terbit. Ingatannya yang telah terhapus tiba-tiba mencuat menyusun kepingan-kepingan ingatan hingga membawanya ke masa lalu, dimana Sang papa dengan kedua tangannya menggendong Ais pulang ke rumah dan memberitahu kalau Ais akan tinggal bersama mereka mulai hari itu.

Meski samar, Aarav masih bisa merasakan bagaimana ia dengan riang gembiranya melompat dari sofa dan berlari memeluk kaki Sang papa.

Dengan binar matanya ia berkata, "beneran?"

"Iya, dan mulai sekarang kamu harus selalu jagain Ais. Meski kamu masih kecil, papa tahu kamu bisa mengemban sebuah tanggung jawab, karena kamu anak papa. Oke, jagoan?" begitu kata Papa yang Aarav jawab dengan anggukan semangat.

"Aarav? Maaf, ya, papa bikin kamu nunggu lama."

Aarav menoleh, dan melihat Sang papa berjalan mendekat setelah menutup pintu rapat.

"Pa," panggil Aarav.

Cowok jangkung itu mendudukkan dirinya di depan Sang papa. Matanya menatap ragu, ada hembusan nafas yang tertahan.

"Kenapa, Rav?" tanya papa.

"Aarav mau tanya, keputusan apa yang aku ambil sampai papa nyesel udah setuju dengan keputusan aku?"

"Oh, itu ..." Papa menatap Aarav sejenak, lalu kembali berkata, "kamu ajuin diri untuk ikut andil dengan masalah orangtua Ayis," jeda, "papa tau mama kamu pasti udah ceritain beberapa hal, kan?"

Aarav mengangguk kecil.

"Dan langkah awal yang kamu rencanakan, kamu mulai mendekati Anis dengan harapan kamu akan bisa mendapat beberapa informasi atau rahasia yang tersimpan. Tapi papa mulai sanksi, kamu justru kelihatan jatuh cinta dengan Anis." Papa menarik nafas, menatap Aarav yang bungkam dengan tatapan sendu.

"Dan saat kamu kecelakaan, papa merasa keputusan itu sudah benar. Ayis bisa bertahan sedikit lebih lama, karena papa tau Ayis juga cinta sama kamㅡ"

"Apa?!" Aarav melotot dengan mulut terbuka. Sementara papa, ia justru terkekeh.

"Loh, kamu gak tau? Anak papa ternyata gak terlalu peka, ya." Papa sedikit menggeleng. "Iya, sih, wajar. Nurun dari mamanya." Kalimat terakhir itu, Papa berkata dengan gumaman disertai sedikit kekehan, memaklumi kalau ternyata gen istrinya yang tidak peka ternyata menurun kepada Sang anak.

Papa mencondongkan badannya ke depan. Dengan senyum simpulnya ia berkata, "papa tau, cinta gak ada yang tau akan berlabuh ke hati siapa. Tapi, Aarav, papa mau tanya. Kamu masih ingin lanjut dan ikut untuk mengungkap kasus 17 tahun lalu ini atau kamu memilih untuk mundur?"

Aarav mengernyit tidak mengerti. "Kenapa harus mundur?"

"Kalau kamu masih tetap maju, yang berhadapan dengan kamu tentu bisa bikin kamu bingung dan berujung kamu malah menggagalkan semua rencana yang udah tersusun rapi, Aarav."

"A-aku gak ngerti, Pa."

"Anis, Rav. Maksud papa itu Anis. Kamu siap untuk membuat Anis sedih? Kamu siap untuk lihat bagaimana Anis hancur karena melihat bagaimana Papanya berada di balik jeruji besi dengan tangan kamu sendiri?" Papa memundurkan badannya, menyenderkan punggunya ke sofa dengan hela nafas yang keluar.

Love Line || Jung Jaehyun [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang