#30

5 0 0
                                    

Seminggu ini Ais jarang melihat Aarav. Selain karena ia memang membatasi diri untuk berinteraksi dengan kakaknya ituㅡanggap aja kayak gitu, karena Ais pun bingung harus manggil Aarav sebagai apaㅡia juga sedang berada di musim ujian akhir.

Mempersiapkan segala hal untuk ujiannya, Ais jadi jarang keluar kamar kecuali kalau ia sedang lapar. Itupun Ais baru ingat makan kalau Marfin atau Naven mengingatkan.

Sesekali mama Fara datang ke rumah. Mengecek bagaimana keadaan di rumah disela kesibukannya mengurusi kasus Arga Pramono.

Karena ujian akhir telah usai siang tadi, Ais berencana untuk merilekskan segala anggota tubuhnya yang kaku akibat terlalu memforsir diri belajar keras dengan menuju taman terdekat seorang diri.

Semilir angin sore hari memang selalu bersahabat dengan Ais. Bagaimana angin membelai lembut dirinya berhasil membuatnya jadi merasa ringan tanpa beban.

Ais mendudukkan dirinya di salah satu bangku yang tersedia. Menilik bagaimana keadaan taman, Ais jadi tersenyum simpul.

Taman ini selalu menjadi taman favoritnya. Ada begitu banyak kenangan yang Ais dapatkan bersama Aarav. Bagaimana mereka bermain bersama, bagaimana Aarav menjahilinya juga menjaganya.

Ais sadar, meski ia berusaha sekuat tenaga melupakan Sang kakak, kenangan bersamanya memiliki ruang tersendiri di lubuk hatinya.

Pandangan mata Ais menyapu bersih sekitar taman, lalu maniknya berhenti pada dua sosok familiar di beberapa meter kejauhan. Sedang duduk berdua sembari saling melempar tawa.

Kemudian perasaan sakit itu kembali hadir, mengantar Ais untuk secara tak sadar meremat kemeja di bagian dadanya.

Rautnya sedih. Siapapun yang melihat pasti akan sadar.

Tapi siapa yang peduli? Yang menjadi penyebab saja justru berlalu begitu saja setelah menatap tepat di kedua bola matanya dari kejauhan.

"Kapan, sih, gue gak makan hati? Yis, bukannya lo udah bertekad? Kenapa sekarang malah jadi begini?" Ais bergumam selagi kedua matanya menutup menahan sesak.

"Ayis."

Seseorang memanggil namanya. Suara familiar itu, Ais kenal betul. Karenanya, Ais masih setia untuk menutup mata. Tidak berani untuk membuka barang sedetik pun.

"Ayis," panggilnya lagi.

Menyerah, Ais membuka kedua kelopak matanya. Menangkap eksistensi Aarav yang berdiri di depannya dengan raut canggung.

"Bang Aarav," gumam Ais sambil menarik senyum kikuknya.

"K-kak Anis mana, bang?" tanya Ais tanpa melihat pada Sang lawan bicara.

"Abang suruh tunggu di mobil. Adek ngapain di sini?"

Abang peduli? Haha, sejak kapan? Batinnya mungkin sarkas tapi yang keluar dari dua celah bibirnya justru, "butuh udara segar." dengan suara cicitnya.

Nyali Ais menciut. Takut-takut ia kembali goyah meski sepenuhnya sadar, Aarav bernafas saja sudah membuatnya jatuh ke dalam pesona kakaknya itu.

"Adek kurusan, ya, sekarㅡ"

"Bang, kak Anis pasti udah nungguin abang. Mending sekarang abang pergi, kasian kak Anis," potong Ais cepat. Tidak ingin ada pembicaraan berlanjut yang memakan waktu lama.

"Yaudah. Tapi nanti kalo abang udah habis nganterin Anis, kita dinner bareng, ya?"

"Enggak. Adek mau ke rumah Marfin, bunda kangen katanya," tolak Ais.

Raut Aarav berubah sedih. Berjongkok, Aarav meraihnya tangan Ais. Menggenggamnya lembut untuk sepersekian detik sebelum Ais menarik kembali tangannya dengan cepat.

Love Line || Jung Jaehyun [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang