#29

2 0 0
                                    

Minggu pagi, sekitar pukul sembilan, Ais dan Marfin telah berdiri di depan dua makam.

Dua makam itu menuliskan kedua nama orangtua mereka.

Mahendra dan Arista.

Rasanya miris saat tahu fakta kalau Ais baru mengunjungi makam kedua orangtuanya setelah usianya menginjak 17 tahun.

Dengan pelan Ais berjongkok. Mengelus pelan dua batu nisan di samping kanan kirinya. Menatap bergantian dengan senyum sendu di wajah manisnya.

Di belakangnya, Marfin berdiri menatap. Membiarkan Ais dengan leluasa berinteraksi. Marfin tahu, Ais berusaha mati-matian menahan tangisnya. Oleh karena itu, Marfin tidak ingin mengacau.

"Papa, mama, maafin Ayis karena baru datang sekarang. Maaf kalau Ayis terlambat buat tahu fakta kalau kalian orangtua kandung Ayis." Seiring kalimat Ais yang keluar, suaranya semakin bergetar.

Ada tangis yang ia tahan sekuat tenaga. Tapi kalimat Marfin berhasil meruntuhkannya. "nangis aja, papa sama mama pasti jauh lebih lega kalo lo lepasin semua sesak yang lo rasain."

"Ayis jahat, ya? Jahat karena Ayis baru tau kalau kalian meninggal karena perbuatan brengsek Arga Pramono. Papa sama mama pasti bekerja keras buat ungkap kejahatan Arga Pramono, tapi hukum justru menghianati hasil kerja papa sama mama." Ais menyeka air matanya.

"Gak usah khawatir, Ayis pasti bakalan selesain ini secepat mungkin. Bareng Marfin, papa Sastra dan mama Fara, Ayis pasti bisa hadepin Arga."

Dari tempatnya, Marfin tersenyum. Tanpa sadar, ia mengeluarkan air mata. Melihat bagaimana kembarnya itu bertekad demi kedua orangtua mereka, Marfin jadi bisa merasakan kehangatan keluarga mereka secara nyata.

Merasa kalau sekarang mereka tidak sedang di makam, tapi sedang berada di ruang tengah. Berkumpul bersama dan saling berbincang santai. Apapun akan mereka bincangkan dengan kehangatan keluarga yang lebih utama.

Marfin ikut berjongkok. Di belakang Ais, Marfin mengulurkan tangannya untuk mengelus batu nisan mamanya.

Dalam hatinya ia berbisik, "ma, tolong kasi Marfin semangat dari sana buat selalu ada di samping Ayis."

Lalu tangan Marfin berpindah pada makam Papanya. Diusapnya pelan sembari tatapan teduhnya mengiringi. "Pa, ijinin Marfin gantiin posisi papa buat jagain Ayis. Kasi Marfin kesempatan dan Marfin gak bakalan kecewain papa."

"Papa dan mama bakalan bangga sama Marfin juga Ayis."

Kedua mata Marfin memejam, meresapi setiap detiknya ia berada di sana seakan benar mereka memang sedang berkumpul secara nyata. Tanpa tahu, kalau Ais berbalik menatap ke arahnya dengan mata sembab yang kentara.

Ais menarik ingusnya yang turun. Dengan sisa senggukan tangis, Ais memegang tangan Marfin. Membuat kembarnya itu membuka mata dan mendapati Ais tengah tersenyum ke arahnya.

"Kita jadi, kan, ke tempat Keysha?"

°°°

Mata Marfin menatap ragu rumah sakit jiwa di depan sana. "Lo yakin mau liat Keysha?"

"Iya. Emang kenapa, sih?"

"Yis, sebenernya..."

Kedua alis Ais naik, menunggu kalimat Marfin yang terpotong dan tak kunjung kembarnya itu melanjutkan.

Decakan Ais tujukan untuk Marfin. "Udah, ah. Apapun alasan lo itu, Keysha tetep temen kita. Semestinya, Keysha kita jengukin walau dalam keadaan apapun."

Ais baru turun setelah mengatakan kepada Marfin, "kalo lo gak bisa, biar gue aja sendiri."

Dan berakhirlah Ais dan Marfin di depan ruangan Keysha. Sedang menunggu Naven yang katanya akan datang menjenguk juga.

Love Line || Jung Jaehyun [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang