#7

11 9 0
                                    

Untuk saat ini, kafetaria kampus adalah tempat yang ingin Aarav hindari. Karena terlalu ramai dan berisik, Aarav jadi memilih untuk pindah haluan menuju perpustakaan.

Aarav butuh ketenangan. Ada terlalu banyak yang mengusiknya, entah itu pikirannya ataupun hatinya.

Selalu ada nama Ais yang bermunculan setiap saat, seakan ingin mencekiknya.

Terhitung sudah delapan hari Ais memilih tinggal bersama orangtua. Meninggalkannya sendirian, tidak seperti yang Ais janjikan kala itu.

Aarav terkekeh. Ingatan lamanya kembali muncul.

Sekitar kurang lebih lima tahun lalu. Di tahun pertama Ais masuk sekolah menengah atas, adiknya itu bilang, "Adek pengen di sini aja, nemenin abang. Kasian, abang sendirian. Papa sama Mama pergi aja, adek gak apa-apa di sini, kan ada abang."

Nyatanya, tanpa Ais berkata seperti itu, Papa dan Mama juga memilih untuk meninggalkan Ais bersamanya. Karena suatu hal, mereka harus melakukan itu.

"Aarav, ternyata kamu di sini?" Aarav mendongak, dan mendapati Anis melambai ke arahnya.

Selagi menarik kursi lalu mengambil duduk, Anis kembali berbicara. "Dari tadi aku cariin, aku telfon gak diangkat, dichat juga gak di balas."

Aarav mengerjap. Mengambil hp di kantong celananya lantas melihat ada sembilan panggilan dari Anis dan duapuluh chat dari cewek itu.

Aarav memasang senyum bersalah. "Maaf, aku gak sadar. Hp aku akhir-akhir ini agak error gitu," ucap Aarav.

Anis mengangguk mengerti. Selepas membuka buku di depannya, keduanya akhirnya sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Tapi, ada hal yang menyita perhatian Anis. Aarav terlihat aneh beberapa hari ini, dan cowok itu lebih banyak melamun.

"Kamu kenapa, sih? Jadi kayak sadboy gitu, padahal aku gak ninggalin kamu kemana-mana,"  kata Anis sedikit bercanda.

Aarav menggeleng singkat, enggan menjawab, hanya mengulas senyum tipis. Dan Anis memilih memaklumi.

"Mau makan, gak? Ke kafetaria, yuk! Laper banget sekarang." Ucapan Anis membuat Aarav memandang ke arah cewek itu cukup lama. Berpikir, haruskah ia setujui? Atau justru memilih pulang sekarang? Bukan ke rumahnya, tapi ke rumah orangtuanya.

Dengan wajah memelas yang Anis punya, maka keputusan Aarav berakhir pada ia yang duduk di kursi meja kafetaria yang berada di bagian sudut ruangan, dekat jendela. Spot favorit Anis yang suka mengambil foto di tempat itu.

Kalau Anis sudah memelas, Aarav bisa apa?

°°°

"Marfin," panggil Ais.

Sejak sejam yang lalu, cewek itu terus saja merengek kepadanya. Memanggil terus namanya dengan wajah cemberut miliknya.

Dan selama itu pula Marfin mengabaikannya. Hanya sesekali menimpali, seperti, "Gak usah gitu, muka lo jelek."

"Lo pikir cantik muka lo begitu?"

"Jelek, ah, cemberut gitu."

"Muka lo emang suka jelek gitu ya, Yis?"

Yang selalu berakhir Ais menimpuknya dengan bantal sofa.

Posisinya sekarang Ais sedang di rumah Marfin. Dimanja oleh bundanya Marfin, Ais tidak akan pernah ingin menolak.

Siapa yang menolak dimanja? Memang dasarnya hanya Marfin saja yang tidak ingin.

Tapi sayangnya, sejak sejam yang lalu, Sang bunda keluar, ada urusan penting yang harus ia selesaikan katanya.

Love Line || Jung Jaehyun [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang