#10

11 9 0
                                    

Kalau Ais belum pernah bilang seperti ini, maka Ais akan mengatakannya sekarang.

Kebahagiaan Aarav, kebahagiaan Ais juga. Seperti saudara pada umumnya, Ais juga merasa seperti itu.

Kewajiban untuk membuat Sang kakak bahagia adalah sebuah hal mutlak untuk ia lakukan. Dan merelakan Sang kakak untuk Anis dan menyerah pada perasaannya sendiri salah satu bentuk ia yang ingin membahagiakan kakaknya.

Sudah berapa kali Ais katakan kalau perasaannya ini seharusnya tidak boleh tumbuh? Dan sudah berapa kali Ais menyerah untuk menghapusnya? Tapi  Ais justru merasa sia-sia dengan semua perjuangannya.

Ais selalu kalah dengan perasaannya sendiri. Ais selalu mendapati dirinya mengharapkan sebuah keajaiban dari Tuhan untuk perasaannya yang bahkan belum pernah ia perjuangkan.

Memperjuangkan perasaannya? Haha, Ais justru selalu berjuang untuk menghapus perasaannya.

Ais berharap cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Tadinya, sebelum kabar dari Sang mama tepat setelah ia keluar dari gerbang sekolah muncul.

Katanya, Aarav sudah sadar. Kakaknya sadar tepat ketika hari pertama ia UAS.

Lucunya, saat Ais tiba di ruang rawat Sang kakak, mendekat dengan langkah tergesa, Aarav justru menatapnya bingung. Seakan Aarav mencari tahu siapakah sosoknya ini.

Ais tergagap di tempat setelah satu kata lolos dari belah bibir Sang kakak.

"Siapa?" begitu katanya. Bertanya-tanya mengenai dirinya tapi yang ditatap justru Anis.

Anis tersenyum, mengelus punggung tangan Aarav sebelum berkata, "Adek kamu." dan Aarav hanya membulatkan mulutnya tanpa menaruh minat padanya sama sekali.

Ais jadi merasa bingung. Haruskah ia bahagia atau justru sedih sekarang? Dengan cepat ia menggeleng. Bagaimanapun, salah satu doanya dijabah oleh Tuhan untuk membangunkan kakaknya segera dari koma. Mengenai Aarav yang tiba-tiba tidak mengenalinya, Ais berspekulasi kalau hal itu adalah efek dari benturan keras di kepalanya.

Dan benar saja, tidak lama setelahnya, sosok mama muncul membawa keterangan dokter kalau Aarav memang mengalami amnesia sementara akibat benturan keras di kepalanya.

Ais menghela nafas pelan. Beranjak berdiri, Ais merogoh tasnya dan mengambil beberapa buku untuk ia bawa menuju taman rumah sakit.

Tapi belum sempat membuka pintu, suara Aarav terdengar, menginterupsinya untuk berhenti tepat sebelum ia memegang kenop pintu.

"Mau kemana lo?" Ais menoleh kaget, sementara Aarav tergagap seakan tahu kalau ada hal ganjal dalam kalimatnya.

"Eh, gue dulu kalo ngomong sama lo pake lo-gue atau aku-kamu, sih?"

Ais mengerjap, belum sempat menjawab, kalimat Anis sudah menginterupsi lebih dulu.

Katanya, "Senyaman kamu aja, Rav. Adek kamu juga pasti gak keberatan sama sekali kalau kamu rubah cara ngomong kamu." Anis menoleh pada Ais dengan senyum manisnya. "Iya, kan, Yis?"

"Iya, kak."

"Oh, berarti dulu kalo ngomong suka pake aku-kamu, ya, berarti?"

Ais tidak menjawab melainkan hanya melempar senyum. Dan sebelum hatinya memilih tergores dan kembali terlukai, Ais kembali membawa kakinya melangkah pergi dari sana.

Kalau bisa didefinisikan, Ais sudah seperti daun kering rapuh yang dibakar ujungnya. Tinggal menunggu kapan waktu akan membuatnya benar-benar menyerah dengan perasaannya seperti yang pernah ia katakan di 26 hari yang lalu.

°°°

"Kata bunda, Bang Aarav udah bangun?" ucap Marfin sembari merangkul Ais sepanjang jalan menuju kelas.

Love Line || Jung Jaehyun [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang