• 25 •

0 0 0
                                    

Playing Now
Shawn Mendes | Imagination

⏪⏸⏩

Resto Bagaskara, Bandung 26 September 20xx

"Ayo ayo! Tiup lilinnya."

Sirenna dengan tak sabarnya menatap Septi yang bersiap meniup lilin yang tertancap di kue tart, Septi menghembuskan nafas lalu meniup lilin perlahan hingga apinya mati.

Raikan dan Sirenna sama-sama bertepuk tangan gembira, Septi juga mengikuti apa yang dilakukan orang tuanya itu.

"Ahh ..selamat ulang tahun Septi kesayangannya Mama dan Ayah, semoga kedepannya kamu jadi anak yang baik ya, apa yang kamu mau terpenuhi selagi kamu mau berusaha." Doa Sirenna yang di-aminkan oleh Raikan serta Septi.

Sirenna merogoh tas miliknya, mengeluarkan sebuah buku tebal bersampul biru navy, warna yang sangat disukai Septi, membuat anak itu girang bukan main.

Septi langsung mengambil buku diary kosong itu tanpa persetujuan Sirenna, sedangkan wanita itu hanya geleng-geleng kepala, tangannya mengusap lembut kepala putranya dengan sayang.

"Makasih Mama, Septi sayang Mama." Kata Septi girang sambil menampakkan cengiran lucunya, membuat Sirenna dan Raikan gemas bukan main.

Raikan mencubit pipi Septi pelan dan terkekeh geli melihat wajah Septi yang merenggut, Septi paling tidak suka dicubit dibagian pipinya.

Katanya:

"Pipi ku bukan bakpao yang bisa kalian cubit seenak jidat."

Septi menatap Raikan dan menengadahkan tangannya, menagih dan menunggu hadiah apa yang akan diberi Raikan kali ini.

"Karena kamu suka mengeluh kehabisan pulpen, atau pensil kamu yang tiba-tiba potong, Ayah membelikan beberapa lusin pulpen dan pensil, Ayah juga membelikan penghapus dan tip-exnya. Jadi jika ada yang salah, kamu bisa dengan cepat menghapusnya, Ayah juga membelikan kamu serutan untuk mengasah pensil yang tumpul." Ucapnya sambil mengulurkan sebuah box persegi dan memberikannya pada Septi.

Septi membulatkan mulutnya, menatap box di hadapan mukanya, box ini terasa berat saat dia mencoba mengangkatnya, berapa lusin kira-kira Ayahnya itu membelikannya pulpen dan pensil? Pasti cukup untuk beberapa tahun ke depan. Pikirnya dengan rasa senang yang tak bisa di tahan.

"Makasih Ayah, Septi juga sayang Ayah deh." Ucap Septi setelah mempertimbangkan, membuat senyum Raikan mengembang lebar.

Jarang-jarang sekali putranya itu mengungkapkan rasa sayangnya, jadi Raikan benar-benar senang ketika Septi berkata bahwa anak itu menyayanginya.

Sireena bertepuk tangan sekali, membuat ke dua laki-laki berbeda generasi itu mengalihkan fokusnya pada Sirenna.

Sirenna tersenyum lebar. "Acara sayang-sayangnya kita tunda dulu, lanjut di rumah. Sekarang kita makan dulu, Mama udah mesen makanan buat kita tadi waktu kalian ngobrol." Cetusnya sambil memasang senyum lebar.

Raikan dan Septi mengangguk, akhirnya mereka bertiga makan bersama dengan diselingi candaan yang membuat suasana semakin terasa harmonis dan hangat.

...

Beberapa jam saat Sirenna memesan makanan

"Baik bu, tunggu beberapa menit."

Waiter itu tersenyum sopan dan berlalu pergi dengan catatan di tangannya, hingga saat dirinya melewati lorong untuk menuju dapur konsumsi, Waiter itu dikejutkan dengan sesosok berjubah yang menariknya kasar dan menghempaskan punggungnya ke dinding lorong.

Wanita itu meringis merasakan punggungnya yang ngilu, matanya melirik takut-takut pada sosok berjubah hitam di depannya, dirinya bahkan tak bisa melihat bagaimana wajah sosok itu, karena tertutup tudung jubah.

"Kenapa? A-ada apa? Apa saya membuat salah? Jika iya saya minta maaf." Mohonnya dengan terbata-bata.

Pertanyaan beruntunnya membuat sosok berjubah hitam itu tidak senang, dan wanita itu merasakan bulu kuduknya meremang ketika sosok dengan jubah hitam itu menggeram tertahan dan semakin menekan tubuhnya ke dinding.

Wanita itu meringis pedih, hatinya berteriak bertanya, apa yang dia lakukan hingga berurusan dengan sosok di hadapannya? Ini sangat-sangat menakutkan dari pada melewati kuburan saat malam hari.

Apa setelah ini dia akan mati?

Jika iya, bagaimana dengan anaknya di rumah, anaknya pasti akan kebingungan karena dirinya sebagai ibu tunggal tidak pulang-pulang.

Wanita yang diketahui namanya itu tersentak begitu sosok di depannya menunjukkan sebuah kantong dengan serbuk putih di dalamnya.

"A-apa itu?" Tanyanya takut-takut, sesekali dia menelan ludah.

"Taburkan bubuk ini pada pesanan wanita tadi, untuk makanan wanitanya saja, tidak dengan pria dan anak laki-lakinya."

"Ti-"

"Ya atau nyawa anak mu melayang?!" Wanita itu tersentak pelan dan mengangguk terpaksa, dia akan melakukannya walau terpaksa, dari pada nyawa anaknya melayang, nyawa anaknya lebih berharga dari apapun.

Biarlah jika sosok di depannya mengancam akan membunuhnya, dia tak masalah, asalkan nyawa anaknya baik-baik saja.

Dengan ragu-ragu tangannya mengambil kantong itu dan memegangnya dengan gemerataran, dia tidak bodoh, ini adalah bubuk racun, tapi dia tidak tahu ini jenis racun apa.

Tatapannya kembali menatap sosok berjubah di depannya.

"Ingat! Hanya pada wanitanya saja, dan taburkan semua bubuk itu pada hidangannya."

Seperti dihipnotis, wanita itu mengangguk pelan dan berjalan meninggalkan sosok berjubah itu. Dibalik tudungnya, sosok itu tersenyum lebar dan terkekeh puas.

Kalian akan tamat, sedikit demi sedikit, perlahan-lahan. Kekehnya puas dalam hati.

...

Septi menatap kosong layar komputer di depannya, pikirannya acak-acakan dan bercabang kemana-mana.

Jadi benar jika Mamanya meninggal karena di racuni?

Tapi racun apa?

Kenapa tidak langsung meninggal seperti kebanyakan kasus?

Bukan maksud ingin Mamanya cepat mati, Septi justru penasaran kenapa racun itu bereaksi lambat, racun jenis apa yang membunuh pemakainya dengan perlahan-lahan?

Bahkan Mamanya bisa bertahan empat bulan, Septi bahkan mengira jika Mamanya hanya sakit demam biasa.

"Jadi Mama bener-bener di racun?" Gumamnya pelan, namun terdengar oleh Wulan yang duduk di sampingnya.

Wulan melirik Septi sekilas lewat ekor mata. "Mama lo emang diracun. Ngga nyangka ya?" Jawabnya sekaligus bertanya.

Septi mengangguk pelan. "Tapi gimana bisa ka-maksudnya lo tahu semua ini? L-lo dapet dari mana?" Tanya Septi dengan kaku.

Septi belum terbiasa menggunakan lo-gue saat berbicara dengan orang lain, sedari dulu dia selalu menggunakan kosa kata aku-kamu, mungkin ini penyebab juga dia sering dibully oleh murid-murid sekolah tetangga dulu.

Wulan mengedikkan bahu tak acuh dan menyeruput kopi hitamnya santai, sebelum itu dia melirik Septi dengan tajam.

"Gue pasti tahu lah, gue bagian lapangan disini." Tandasnya santai.

"Lalu soal Papa, bagaimana?"

Missing You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang