• epilog 1 •

1 0 0
                                    

Playing Now
Demi Lovato | Give Your Heart a Break

⏪⏸⏩

"Selamat ya."

"Gue berdoa, semoga kalian langgeng sampe Kakek-Nenek."

"Cepet-cepet dapet momongan ya."

"Ah ya ampun! Ngga nyangka gue! Selamat ya!!"

"Happy Wedding Day!!!"

Septi menatap hidangan yang tersaji di depannya dengan tatapan kosong, sesekali pria itu menghela nafas pelan. "Val! Udah salaman belum? Ayo salaman sama pengantin baru."

Septi menoleh ketika pundaknya di tepuk kecil, matanya menemukan Epul yang berdiri di sampingnya, menatapnya dengan alis terangkat. Septi tersenyum kecil dan mengangguk pelan. "Lo duluan aja." Katanya pada Epul, Epul terdiam sejenak, dia akhirnya mengangguk lalu berlalu pergi.

Setelah kepergian Epul, Septi kembali termenung. Tatapannya terpaku pada jari manisnya yang tersemat cincin perak tanpa hiasan, namun terlihat mengkilat di bawah cahaya lampu.

"Kita akan bertemu lagi, sampai jumpa."

Septi terkekeh miris, kepalanya semakin tertunduk. Sial! Matanya kembali memanas mengingat kejadian itu. Takdir benar-benar menyiksanya tanpa ampun.

Jatuh bangun dia memulai semuanya, tapi takdir memang begitu kejam padanya. Begitu Aya kembali, tapi takdir berkata lain, gadis itu pergi begitu saja setelah memberikan cincin yang selalu terpasang di jari manisnya, tanpa pernah terlepas sedikitpun. Tapi, Septi tidak akan menyerah begitu saja. Yang bisa dia lakukan saat ini adalah menunggu dan menunggu, menunggu kapan gadis itu bersedia kembali ke dalam pelukannya.

Septi menghela nafas dan berdiri dari duduknya, merapikan jas hitamnya yang tidak berantakan sama sekali, kakinya mulai melangkah menghampiri Dani dan Risa yang menampakkan wajah bahagia di atas pelaminan.

Setelah bertahun-tahun lamanya mereka menjalin hubungan, akhirnya resmi juga dengan ikatan pernikahan. Septi turut bahagia, walau perasaannya tertutupi oleh wajah datarnya.

Dalam kebahagiaan itu, hati Septi merasakan sedikit kegalauan karena dia juga begitu berharap bisa seperti Dani dan Risa sekarang tentu saja bersama Aya, gadis yang dia cintai sampai mati, sampai kapanpun dan selamanya.

Septi memasang senyum tipis begitu tiba di hadapan Dani dan Risa, dengan ringan tangannya terangkat menjabat tangan Dani. "Selamat Bro, cepet-cepet dapet momongan ya, biar gue punya ponakan."

Dani tertawa renyah seraya mengedipkan mata ke arah Risa, membuat pengantin wanita itu memerah malu. Septi tersenyum tipis memandang interaksi antara Dani dan Risa, dia menghela nafas samar.

"Oh ya, nanti kita bakal adain resepsi ke dua. Datang ya sekitar jam 8, di ballroom hotel Huxley." Ucap Dani sambil menepuk bahu Septi pelan, Septi menunduk sejenak dan kembali mengangkat kepalanya. "Berdoa aja semoga gue dateng." Septi menepuk balik pundak Dani, menoleh sebentar pada Risa dan melempar senyum tipis dan berlalu pergi.

Kakinya melangkah menghampiri Ayahnya yang tengah mengobrol dengan teman-temannya, Septi juga melihat ada Ayah gadisnya di antara mereka, pria itu berdiri tepat di samping Ayahnya.

"Yah!" Panggilnya, Raikan menoleh dan tersenyum lebar menyambut kedatangan Septi, tangan pria itu membawa Septi ke dalam rangkulannya.

"Kenalin Bro, anak gue satu-satunya, gantengkan? Mirip banget gitu loh sama gue." Raikan berucap narsis, meski di permukaan wajahnya datar, diam-diam Septi menahan diri untuk tidak tertawa.

Ayah masih aja narsis, bisiknya pada diri sendiri.

"Well. Rai, anak lo punya pendamping ngga? Kalau ngga mungkin dia minat sama anak gue." Salah satu teman Raikan menyaut, pria bernama Jojo itu tanpa ragu menawarkan anaknya, membuat Raikan terkekeh kecil.

"Gimana boy? Mau?"

Meski Raikan ingin segera menimang cucu, pria itu tak akan memaksa putranya untu segera menikah. Sekarang dia paham kondisi putranya, itupun dari penjelasan yang diberikan Arno.

Septi yang berdiri di apit oleh Ayahnya juga Arno hanya diam dengan wajah datar, Arno berdehem dan merangkul bahu Septi erat. "Dia calon mantu gue." Cetusnya datar, aura dingin yang keluar dari tubuhnya membuat semua yang ada disana diam. Septi mengulum senyum senangnya, perlahan kakinya bergerak mundur hingga Arno dan Raikan melepaskan rangkulannya.

Arno mengerjap lambat, menatap Septi dengan sorot lembut, persis seperti ketika pria itu menatap putrinya, Aya. "Kenapa? Kamu seperti buru-buru." Ucapnya pada Septi.

Septi tersenyum tipis, dia bergerak mencium tangan Ayahnya serta tangan Ayah gadisnya dengan sopan. "Aku ada penerbangan beberapa jam lagi, aku pamit ya?" Tatapan Septi beralih pada Ayahnya. Raikan menelan ludahnya, menatap Septi dengan sorot tak rela. "Berapa minggu?"

Septi tersenyum lebar. "Cuman dua hari kok Yah, ngga lama."

Setelah berpamitan pada kedua Ayahnya, Septi berlalu pergi. Pria itu tak benar-benar menganggap kehadiran Jojo dan yang lain, membuat Raikan dan Arno menggeleng pelan dan saling menatap.

Perasaan ku tak enak, gumam Raikan dalam hati. Pria itu berharap, putranya pulang dalam keadaan sehat, tanpa lecet sedikitpun, seperti biasa.

...

Sosok dengan baju serba hitam tersenyum sinis. "Kita tinggal tunggu hasilnya."

Sosok dengan baju serupa yang ada di sebelahnya mengangguk puas.

"Ya, hanya beberapa jam lagi dan boom!! Meletus haha!!!" Dia tertawa puas diikuti tawa yang lainnya.

Sesuatu yang besar akan terjadi.

...

Raikan yang tengah menonton berita ringan di Televisi, dibuat terpaku ketika berita tiba-tiba berganti, membahas sebuah pesawat yang beberapa jam lalu meledak tiba-tiba di udara.

Matanya menatap kosong layar Televisi yang masih menampilkan berita itu.

"Kali ini pesawat apa?"

"Pesawat Singa-air nomor 847, Yah."

"Okey, hati-hati boy."

"Siap Ayah."

Percakapan dengan putranya di telepon terlintas begitu saja, Raikan menggeleng brutal bersamaan dengan air matanya yang luruh begitu saja. Dengan tubuh yang gemetar, tangannya meraih ponselnya yang berdering.

"..."

Ponsel yang berada dalam genggamannya tergelincir, kini tangisannya benar-benar pecah. Dengan cepat tangannya meraih kunci motor yang tergeletak di atas meja dan berlari keluar rumah.

"Mayat Septi sudah sampai di Rumah Sakit Medika Bandung, kondisinya lumayan baik. Tapi sayang nyawanya hilang, yang sabar Raikan, aku turut berduka."

Raikan mengendarai motornya seperti orang gila, pria itu bahkan melanggar rambu lalu lintas, para polisi mengejarnya dari belakang, Raikan tak peduli walau perbuatannya menyebabkan orang lain celaka atau macet parah.

Yang terpenting sekarang adalah ...

Memastikan keadaan putranya.

Missing You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang