• 20 •

2 1 0
                                    

Playing Now
Camila Cabello | Shameless

⏪⏸⏩

Ekhem! Tita sedikit sakit hati, tapi tidak perlu diambil pusing, karena faktanya memang Tita itu gadis miskin yang tidak punya apa-apa, tapi tanpa terduga hidupnya berubah sekejap mata.

Walau dia harus rela masuk sangkar iblis dan tak akan bisa lepas lagi.

Tatapan mata Tita terlihat malas. "Aku memang orang miskin, lalu?" Tanyanya malas, Tita bahkan sesekali meguap.

Begini mungkin jadinya jika murid SD, SMP dan SMA disatukan di gedung yang sama, entah disengaja atau tidak.

Laki-laki itu bersedekap dada, menatap Tita yang lebih pendek darinya. "Belikan aku makanan, orang miskin!" Sentaknya kasar sambil melempar uang selembar seratus ribu, hingga uang itu mengenai wajah Tita dan akhirnya jatuh di lantai.

Tita mengepalkan tangan, sudah dua kali dia disebut orang miskin. Tak masalah karena sekali lagi, itu kenyataannya. Tapi hey! Dia juga punya harga diri, apa-apaan laki-laki ini melempar uang pada wajahnya yang cantik.

Bugh

Tinjunya mendarat tepat dipundak laki-laki itu, membuat laki-laki itu berteriak kesakitan dan terjatuh telentang dilantai.

"Sialan lo anak miskin!" Rutuknya yang membuat Tita semakin terbakar amarah dan tak terima.

Harga dirinya diinjak!

Bugh bugh bugh

Tinjunya terus menghantam wajah Kakak kelasnya itu, posisi mereka saat ini adalah Tita menduduki perut laki-laki itu, hingga Tita leluasa mendaratkan tinjuannya.

Mereka menjadi pusat perhatian, tak ada yang berusaha melerai, guru-guru yang lewatpun hanya melirik dan berlalu pergi begitu saja.

Tita mengutuk dalam hati, ini lah yang membuatnya tak betah sekolah, dia selalu menjadi bahan bullyan dan saat dia melawan, pihak sekolah selalu membela orang yang berduit! Uang, uang dan uang! Semuanya sukses karena uang, bangsat!

Gadis itu terkesiap ketika Mula-nama laki-laki itu-menjambak rambutnya yang tergerai dengan kencang, tak tinggal diam, tangannya juga bergerak mencakar wajah Mula.

"Lepasin tangan mu dari rambutku!" Pekik Tita kesal, tangannya tak berhenti mencakar wajah Mula, sesekali menjambak rambutnya.

Mula sesekali merintih, dia yakin wajahnya penuh dengan cakaran dan darah. "Ngga akan, dasar orang miskin!" Ucapnya kasar, tangannya semakin ganas menjambak rambut Tita.

Pergulatan itu terus berlanjut, Mula dan Tita terus menghujat satu sama lain.

"Lepasin ngga?!"

"Ngga akan! Dasar jelata!"

"Mentang-mentang kaya! Sombong!"

"Suka-suka gue lah!"

"Setan! Bangsat! Anjing!" Tita mengumpat keras.

Suasan semakin panas, selain karena pergulatan yang terus berlanjut, orang-orang terus berkerumun hingga sesak, bahkan diantara mereka ada yang memegang ponsel dan menyiarkan pergulatan itu.

Ahh, bangsat! Maki Tita dalam hati, kepalanya sudah seperti akan tercabut dari tubuhnya, Tita yakin banyak rambut panjangnya yang rontok.

Tak ada yang memperhatikan jika ada seseorang dari keruman itu yang akan melemparkan sesuatu ditangannya, hampir saja benda itu mengenai kepala belakang Tita, jika sesuatu tiba-tiba saja muncul.

Jleb

Kerumun melonggar dengan cepat, masing-masing terlihat terkejut dengan apa yang terjadi saat ini.

Tita yang membeku berdiri dan memutar tubuhnya, hingga kini dia berhadapan dengan seseorang yang tak dia duga kedatangannya.

Bagaimana bisa dia muncul tiba-tiba?

Mula segera berdiri dengan cepat dan pergi dari sana, menerobos kerumunan yang belum juga bubar.

"Astaroth?!"

...

Sedari tadi, umpatan terus keluar dari bibir merah meronanya. Meski lelah mendera tubuhnya, kepalan tangannya tak berhenti meninju samsak tanpa pelindung.

Buku-buku jarinya memerah mengeluarkan darah, nafasnya memburu cepat, kaos putih yang dipakainya basah oleh keringat.

"Wahid! Aku cape! Tidak bisakah kerja paksa ini dilanjut besok?" Tanyanya dengan nafas yang terengah-engah.

Wahid menggeleng tegas, sorot matanya tak dapat dibantah. "Ngga bisa, lanjut lagi!" Paksanya sambil menggebrak meja, hingga cangkir-cangkir yang ada di atasnya sedikit terangkat.

Septi menghela nafas dan terus meninju samsak di hadapannya. Sialan! Teman-temannya itu benar-benar menyiksanya, tubuhnya sudah lemas bukan main, tenaganya hampir habis, kakinya berusaha sekuat mungkin menahan bobot tubuhnya yang jika sedang lelah seperti ini entah kenapa terasa berat.

Retakan di kakinya karena terserempet mobil tak sebanding dengan apa yang Septi rasakan saat ini, tak disangka jika retakan itu sembuh dalam dua puluh hari. Ayahnya pembohong ulung, katanya retak di tulangnya akan sembuh dalam dua bulan.

Ini lebih cepat dari perkiraan!

"Ubah gaya bicara lo Rival! Kalau lo terus pakai kosa kata aku-kamu, orang-orang bakal ngira lo cowo polos dan bodoh, kita ngga mau lo kena masalah kayak waktu kita di SD dulu." Ucap Karin sambil melipat tangannya di dada, gadis itu kini berdiri di samping Septi yang terus berusaha menjaga keseimbangan berdirinya.

"Cewek lo udah ngga ada Rival, ngga ada yang bisa manjain lo lagi, ngga ada yang bisa jagain lo lagi. Ayahnya lo juga orang sibuk bukan? Ngertilah Rival! Lo bukan anak kecil umur 7 tahun! Lo udah gede! Dan tanggung jawab lo besar." Lanjut Wulan yang sedang membaca sebuah buku dipangkuannya.

Disela-sela kepalan tangannya yang terus meninju samsak, Septi bertanya dengan nafas yang terputus-putus.

"Kenapa kalian melatihku dengan begitu keras? Aku bahkan tidak tau caranya memimpin."

Raut wajah ketiganya terlihat datar-datar saja, tak ada yang menunjukkan belas kasihan, meski mereka melihat Septi mulai tak berdaya, membuat Septi mendengkus pasrah.

"Ini belum seberapa Rival, lo harus bisa tahan nafas di dalam air selama lebih dari lima jam." Ungkap Wahid yang sukses membuat Septi melongo.

Wulan meneguk jusnya yang masih tersisa. "Dan kita bakalan bawa lo ke hutan, buat uji coba ketahanan hidup lo sendiri. Lo harus bisa lawan binatang buas dengan tenaga lo sendiri."

"Lo harus latih semua otot lo yang nganggur selama bertahun-tahun." Lanjut Karin.

Brak

"Apa lagi?! Cepet lanjutin! Abis ini kita bakal latih tendangan lo!" Sentak Wahid melihat Septi yang malah diam terpaku.

"Kalian kejam." Gumam Septi pelan dan melanjutkan meninju samsak yang keras karena diisi bata.

Tapi ketiganya masih bisa mendengar, Wulan melirik Rival sekilas dan tangannya bergerak membuka halaman berikutnya.

Karin meniup udara disela-sela bibirnya yang mengemut lolipop. "Lo ngga tahu kan Rival?" Tanyanya main-main.

"Ngga tahu, karena belum dikasih tahu." Dengus Septi.

Wahid mengulas senyum miring, memandang Septi dengan kilat kejam yang terlintas dimata yang biasanya memandang polos. "Papa lo meninggal bukan karena kecelakaan biasa, tapi itu emang di sengaja, dan lagi..." Ucapnya berhenti sejenak, sudut bibirnya tertarik semakin lebar membentuk sebuah seringai.

"Lo ngga tahu kan kalau Mama lo dibunuh pake racun?"

Krakk

Missing You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang