• prolog •

25 7 13
                                    

Playing NowAgnes Monica | Tanpa Kekasihku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Playing Now
Agnes Monica | Tanpa Kekasihku

⏪⏸⏩

Suasana pemakaman penuh dengan raungan tangisan yang tak terima atas kepergian seseorang yang mereka sayangi, terutama seorang laki-laki yang kini tengah menangis tersedu-sedu di samping jenazah yang akan segera dimakamkan.

"Nggak! Jangan kubur Aya! Dia lagi tidur!" Dia meraung kala gadisnya diangkat dan akan dimasukkan ke dalam liang lahat.

"Septi, kamu harus sadar, Aya emang udah ngga ada."

Laki-laki dengan panggilan Septi itu menoleh dan menggeleng tak terima, pelukan ditubuh gadisnya mengerat. "Aya ngga mati, Aya masih hidup, dia cuman lagi tidur. Iya kan baby?"

Septi menunduk, tangannya terangkat mencubit kecil pipi pucat dan tirus gadisnya yang masih senantiasa memejamkan matanya.

Kalimat yang meluncur dari bibirnya itu membuat mereka lagi-lagi meneteskan air mata dengan suara isakan yang makin kencang, tiga orang anak laki-laki dengan rupa sama yang ada di samping Septi mengangguk mengiyakan.

"Benar! Apa yang Bang Ian katakan memang benar, Kak Aya tidak meninggal, dia hanya tengah tertidur." Ucap salah satu dari mereka, anak laki-laki itu melangkah mendekati sang Kakak dan menggoyangkan bahu Kakaknya itu pelan.

"Kakak! Bangun ihh! Main skateboard yuk! Aku janji deh ngga akan rusakin skateboard LED Kakak lagi." Rengeknya dengan bibir mengerucut, wajahnya penuh dengan air mata.

Anak itu tidak bodoh, dia tahu Kakaknya sudah tidak ada. Hatinya tidak menerima kenyataan yang terlihat di depan matanya, dia kukuh bahwa sang Kakak tak mungkin meninggalkannya.

Anak itu menoleh pada kedua kembarannya. "Kakak! Ayo! Bantu aku bangunin Kakak, kita ganggu dia, agar dia segera membuka mata." Ajaknya diiringi senyum cerah, ajakannya itu diangguki setuju oleh kedua kembarannya.

"Kak! Bangun dong! Ayok kita main skateboard!"

"Kakak bilang aku terlalu irit berbicara, sekarang aku janji aku akan sering-sering ngomong, tapi itu hanya dengan Kakak."

"Kakak pembohong! Katanya Kakak akan berusaha untuk tidak tidur lebih lama, tapi apa? Kakak bohong!"

Ketiga anak dengan rupa sama itu menangis histeris, mereka bangkit dari posisinya dan berlari menuju tempat dimana Ayah dan Bunda mereka berada.

"Bunda! Ini semua ngga benarkan? Ini bohongkan? Jawab aku Bunda! Kak Aya ngga mungkin kan ninggalin kita."

Sang Bunda menggeleng dengan tangis yang kian keras, air mata terus keluar dengan deras dari kelopak matanya. "Bunda juga berharap seperti itu Sayang, Bunda berharap kalau ini hanya prank, karena ini juga bertepatan dengan ulang tahun Bang Ian." Ucapnya diiringi dengan tangisan.

Septi tergugu di tempatnya, masih dengan tangan yang senantiasa mememuluk tubuh gadisnya erat. "Sekarang, aku ulang tahun kan? Mana kado buat aku? Kamu cuman sekedar ngucapin aja tadi. Sekarang aku mau nagih, mana kadonya?" Tuntutnya, matanya tak lepas menatap wajah gadisnya yang dengan tenang terlelap tidur.

Iya, tidur untuk selama-lamanya.

Air mata meluncur dari kelopak matanya. Andai kata dia bisa melawan takdir, dia akan meminta dia saja yang berada diposisi gadisnya saat ini.

Ini semua salahnya.

Ini semua terjadi karenanya.

Andai saja dia menuruti perkataan gadisnya, semuanya tak akan menjadi seperti ini.

Ini semua memang salahnya.

Dengan tak rela, dia melepaskan lilitan tangannya di tubuh gadisnya dan berjalan menjauh, sejauh-jauhnya, yang terpenting dia tak ada di sana. Tidak melihat proses penguburan gadisnya lebih baik, dari pada melihatnya yang akan membuatnya semakin sakit hati dan menyalahkan semuanya pada pencipta-Nya.

"Allahu akbar allahu akbar!"

Mereka semua menutup kelopak mata mereka rapat-rapat, menutup mulut mereka dengan telapak tangan masing-masing, berusaha menahan raungan yang akan keluar dari mulut mereka.

"Kak Ama ngga mungkin ninggalin aku!! Kak!! Kakak tega ninggalin kita?! Kakak jahat!! Kakak udah janji sama Rara!! Ngga bakal ninggalin Rara sama Abang!! Kak Ama!! Jangan tinggalin Rara!!"

Irham memeluk adiknya yang berusaha memberontak, jangan sampai pelukannya terlepas, bisa-bisa adiknya akan mengacaukan proses penguburan. Dia membenamkan wajahnya dipundak adiknya, menangis sepuas-puasnya disana, begitupun dengan Rara yang menangis tersedu-sedu di dadanya.

"Ini boongan kan? Coba bilang sama gue.."

Dani menatap kosong ke depan, hatinya sesak, sangat. Tak percaya dengan kenyataan yang terjadi di hadapannya.

Adik perempuan satu-satunya ..

Sepupu perempuannya ..

Dia sudah pergi, meninggalkannya disini sendiri, Dani benar-benar kecewa, sangat-sangat kecewa.

"Hiks.. Ini bener Dan, Edita emang udah ngga ada, kamu yang sabar ya." Ucap Risa dengan parau, tangannya terangkat mengelus punggung Dani, bermaksud menguatkan laki-laki itu.

Dani menangis terisak, di tumpunya kepala di pundak Risa, hingga saat ini mereka berada dalam posisi berpelukan.

Bukan hanya Dani saja yang sedih dan terpukul, tapi mereka semua yang ada disana juga sama keadaannya, bahkan tadi melihat Omanya jatuh pingsan, dan Neneknya yang menangis terisak dipelukan Kakeknya.























Area pemakaman sudah sepi, proses pemakaman telah selesai beberapa menit yang lalu, dan mereka memilih kembali ke rumah masing-masing.

Cuaca mendung menghiasi, seseorang tampak berdiri dibalik pohon, memandangi kuburan baru itu dengan datar.

"Ck! Ngga ada yang sadar apa?"

Seseorang itu mengedikkan bahu tak peduli dan pergi dari sana, meninggalkan pemakaman itu dalam diam dan ponsel yang mulai menempel di telinganya.

"Beres!"

Missing You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang