Playing Now
Nightcore | Demons⏪⏸⏩
Astaroth tidak banyak bicara ketika panah yang menembus punggung ke perutnya, ditarik dengan sekali sentak dan tanpa aba-aba, Tita yang melihat itu meringis tak percaya.
Benar-benar iblis, ucapnya dalam hati tanpa bisa ditahan.
Tak peduli jika Astaroth akan kesakitan atau tidak, pertanyaan yang sekarang berganjal di kepalanya hanya satu.
Bagaimana Astaroth bisa muncul tiba-tiba?
"Nek!" Panggilan Tita hanya ditanggapi Sesa dengan anggukan, setelahnya wanita berwajah keras itu berlalu pergi, meninggalkan Astaroth dan Tita dengan segala kecanggungan yang ada.
"Maaf, aku datang terlambat preety. Jika saja-"
"Stop!"
Tita tak tahan dengan ungkapan rasa bersalah dari Astaroth, apalagi mata laki-laki itu yang menyorotnya lembut, semua ini baru bagi Tita yang sedari kecil tak pernah merasakan kasih sayang.
Tinggal di panti sedari kecil membuatnya asing dengan hal seperti ini, Tita selalu menjadi bahan bullyan dipantinya dulu. Maka dari itu saat berumur lima tahun, Tita nekat kabur dari sana dan hidup luntang-lantung di jalan, hinggia dia bertemu Astaroth yang tengah beraksi.
Padahal waktu itu dia sangat takut pada mata tajam Astaroth yang terus menyorotnya seperti hidangan siap santap, tapi Tita berhasil menyembunyikan ketakutan itu dengan baik.
Pandangannya turun pada kedua tangannya yang kini digenggam Astaroth, Tita menelan ludahnya.
"Bagaimana bisa kamu muncul tiba-tiba? Apa kamu memang manusia?" Tanya Tita sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Astaroth yang semakin erat.
Tita pantas bertanya-tanya apa Astaroth manusia atau bukan, bukannya tadi Astaroth baru saja tertusuk panah dari punggung hingga menembus perutnya, lalu sekarang bagaimana mungkin Astaroth terlihat santai dan baik-baik saja.
Tita bahkan bisa melihat bolongan diperut Astaroth walau samar karena tertutup darah.
"Aku rasa aku bukan manusia."
Tita terkesiap dan semakin bergerak, berusaha sekeras mungkin melepaskan genggaman tangan mereka.
"Aku iblis preety, apa kamu masih mau menerima ku?"
...
"Yuna!"
"Ya Appa? Ada apa?"
Haruka menatap putrinya lamat-lamat, wajah Yuna seperti copy paste dari wajah Yolanda-wanita yang telah mencuri perhatiannya sejak pertama kali mereka bertemu, sayangnya pertemuan pertama Haruka dan Yolanda begitu buruk, tak ada yang berkesan sama sekali.
Yuna mengerjap tak mengerti, ada apa dengan Ayahnya ini? Gadis itu mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah sang Ayah, membuat Haruka tersadar dan berdeham pelan.
"Apa kau tidak keberatan?"
Tidak jelas. Maki Yuna dalam hati, gadis itu menghela nafas kesal. "Jangan setengah-setengah Appa, bicara lah dengan benar, aishh." Decaknya sambil menatap sang Ayah yang meringis.
Haruka menatap ke atas, sebenarnya dia bingung ingin menyampaikan nya dari mana, semua ini benar-benar mendadak, Haruka tak bisa melepaskan putri satu-satunya, darah daging yang dia punya.
Selama bertahun-tahun Haruka mengurus Yuna dengan tangannya sendiri, tanpa bantuan siapapun. Yolanda meninggal begitu melahirkan Yuna, meski begitu Haruka tak melupakan sosoknya sama sekali.
Yuna tumbuh menjadi anak yang cerdas dan cantik, anak itu mempunyai kepintaran yang melebihi Haruka. Saat Haruka tahu jika putrinya menyembunyikan semua prestasi yang Yuna punya, ada rasa kecewa yang menyelinap di hatinya.
Haruka tahu, Yuna ingin tumbuh normal seperti anak kebanyakan, tapi itu benar-benar hal yang mustahil, ada sesuatu dalam diri Yuna yang menghalangi itu semua.
Ada sosok iblis yang bersemayam dalam diri Yuna, yang suatu saat akan meledak jika bertemu dengan seseorang di luar sana, dan itu membuat Haruka khawatir.
"Appa!" Sentak Yuna kesal, waktunya terbuang sia-sia, jika saja dia tahu saat dipanggil kemari hanya untuk dikacangi seperti ini, Yuna tak akan pergi dari sisi seseorang walau hanya sebentar.
Haruka tersentak kecil, kembali menatap Yuna yang memasang wajah kesal.
"Persiapkan dirimu, kau akan ke Indonesia bersama Robin Samchon, tidak ada bantahan Yuna!"
Yuna mendengus kesal, bibirnya mencebik, pandangannya mengikuti sang Ayah yang berlalu pergi begitu saja.
"Baby facenya tidak cocok dengan tempramennya yang dingin, lagi pula kenapa aku harus mempunyai Appa macam dirinya?" Gerutu Yuna kesal, gadis itu berdiri dari kursi dan berjalan meninggalkan ruangan.
...
Sssttt
Seekor ular besar yang entah ular jenis apa menghadang langkahnya, Septi menahan nafas satu detik dan menghembuskan nya kasar.
Berusaha keras melawan rasa takutnya, Septi menengadah menatap ular raksasa itu.
Tangannya menggenggam erat pedang yang tersampir dipinggangnya, jika ular ini berniat mengganggunya, maka Septi tak akan ragu menebas kepala ular itu hingga copot dari badannya.
5 detik ...
1 menit ...
4 menit ...
10 menit ...
Tak ada pergerakan sama sekali, Septi masih memegang erat gagang pedangnya, berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ular itu akan menyerangnya membabi buta, seperti beberapa jam yang lalu, saat ada babi hutan yang tiba-tiba datang dan menyerangnya brutal.
Ketiga temannya itu benar-benar kejam, Septi kira dia akan dilatih bernafas dalam air, tapi tak tahunya dia akan di uji coba terlebih dahulu.
Dan disinilah dia sekarang, di hutan belantara yang memang benar-benat belantara, pohon-pohon menjulang tinggi dengan dedanuannya yang tumbuh rimbun.
Hampir tak ada celah untuk cahaya matahari agar masuk, suasana sekitarnya benar-benar suram dan redup.
Jika menghitung waktu, ini baru lima jam sejak uji coba ini di mulai, dan saat baru masuk saja, Septi langsung disambut dengan lebah liar yang terlihat siap menyengatnya.
Si-al!
Untung saja dia membawa gas bius, jadi tak perlu ada yang dikhawatirkan, tapi masalahnya Septi lupa memakai masker, hingga dengan bodohnya dia menghirup gas bius itu, walau hanya sedikit, tapi berhasil membuat kepalanya pening.
Ular ini, sebenernya mau apasih? Geramnya dalam hati.
Tubuhnya mundur ke belakang ketika kepala ular itu maju, hingga kini wajah mereka berhadapan, Septi bisa melihat ada sesuatu yang menempel di kening ular itu, bercahaya dalam keadaan redup.
"Kau menyedihkan!"
Septi melongo memandang ular besar itu yang pergi begitu saja.
"A-apa katanya tadi? S-sialan! Aku hampir mati berdiri! Bangsat!" Maki kasar sambil menatap arah perginya ular besar itu dengan kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing You [End]
Mistério / SuspenseMungkin Tuhan memang menakdirkan hidupnya penuh dengan kesialan, di mulai dari hal-hal yang kecil, sampai hal besar. Contohnya Rival Septian Nugraha yang tak pernah punya teman dan selalu di jauhi di sekolahnya, dan dia tak tahu apa kesalahannya. La...