• 48 •

0 0 0
                                    

Playing Now
Utopia | Selamanya

⏪⏸⏩

"Titania?!" Astaroth berseru kaget ketika mendapati kekasihnya ada di depan gerbang sekolah, tengah menunduk memainkan ponselnya.

Merasa namanya di panggil, Tita mengangkat kepalanya. Senyum manis tersungging di bibirnya begitu melihat Astaroth yang terpaku menatapnya.

"Hai."

Senyum Astaroth mengembang lebar, laki-laki itu berlari ke arah Tita dengan cepat. Sesampainya di hadapan Tita, Astaroth memeluk gadis itu dengan erat. Titania hanya tersenyum dan menepuk-nepuk punggung Astaroth pelan.

Begitu cukup melepas rindunya, Astaroth mengurai pelukan mereka walau sedikit tak rela. Tita masih tersenyum, menatap Astaroth dengan sinar lembut.

"Sejak kapan kau ada disini? Lagi pula kapan kau ke Bandung? Nenek tidak memberitahu diriku."

Astaroth menggandeng Tita pergi, membawa gadis itu ke taman sekolah, dan mendudukkan diri mereka di bangku taman yang berada di bawah naungan pohon beringin.

Terasa sejuk dan damai.

Tita mengedip lambat dan tersenyum tipis. "Beberapa minggu aku sudah disini, hanya saja aku tidak mau menganggumu, jadi aku putuskan untuk tidak bertemu dengan mu lebih dulu, dan hanya berdiam di apartement." Titania menoleh sebentar menatap Astaroth, setelahnya gadis itu menatap kembali ke depan.

Nafasnya berhembus panjang, menghirup udara kota Bandung yang begitu sejuk dan bersih, wangi-wangi bunga yang tertanam di sekeliling mereka masuk ke dalam indra penciuman, segar dan harum.

Bibir Astaroth tak henti-hentinya mengembangkan senyuman, laki-laki itu mendekap Tita dengan erat di dadanya. Seragam sekolah masih melekat di tubuhnya, tapi Astaroth tak begitu peduli, karena yang terpenting saat ini adalah mendekap Tita seerat mungkin, menghirup wangi tubuh gadis itu yang sangat memabukkan baginya.

Tangan Astaroth mengusap kepala Tita dengan lembut. "Aku sungguh sangat merindukan mu, jarang sekali Nenek mengizinkan mu untuk menemui ku." Gumam Astaroth, tangan laki-laki itu menggenggam erat tangan Tita, mengusap punggung tangan gadis itu lembut.

Tita tersenyum lebar, matanya memandang lurus ke depan. "Aku memohon pada Nenek. Bukan kau saja, aku juga rindu padamu Astaroth, sudah beberapa bulan kita tidak bertemu." Kepalanya mendongak, menatap Astaroth dari bawah.

Tangan Tita mengusap rahang Astaroth pelan, membuat Astaroth memejamkan matanya, menikmati sentuhan lembut dari Tita.

Tita menelan ludah, gadis itu menjauhkan tangannya dari rahang Astaroth, kembali menatap lurus ke depan. "Kau tidak boleh meninggalkan ku Astaroth." Gumamnya pelan, Tita mendekap tangan Astaroth yang ada di depan perutnya dengan erat.

Astaroth menunduk dan mengecup puncak kepala Tita dengan dalam, pelukannya semakin mengerat.

"Aku tidak akan pernah meninggalkan mu, Titania Batari." Tegasnya pasti, sekali lagi Astaroth mengecup puncak kepala Titania, dan membawa gadis itu semakin masuk ke dalam pelukannya.

Karena sesungguhnya, hanya kalian yang ku punya. Monolog Tita dalam hati, gadis itu balas mendekap Astaroth tak kalah erat.

...

"Apa arti Azazel bagimu Yuna?"

Yuna mendelik sinis, gadis itu semakin membawa Azazel yang tidur ke dalam dekapannya. "Dia hidupku, kau tahu itu kan?" Sengitnya berang, Yuna kembali menunduk menatap wajah tampan Azazel yang ada di pelukannya.

Robin yang berada di samping gadis itu mendesah pelan dan menatap layar Televisi lurus-lurus. "Kemarin aku bertemu seorang gadis." Pria itu mulai bercerita, meski tak kentara, Yuna mulai mendengar apa yang keluar dari bibir Robin dengan seksama, apalagi menyangkut tentang gadis.

Kepala Robin mendongak, menatap langit apartement. "Dia cantik dan imut."

Yuna mendesis geram, dengan gemas dia memukul kepala belakang Robin, membuat pria itu meringis kecil dan memaki pelan.

"Jika ingin bercerita, jangan setengah-setengah, kau membuat ku gemas saja Shamcon!" Sungut Yuna kesal, gadis itu kembali menunduk dan menyisir rambut Azazel yang terasa lembut di jari-jarinya.

Robin merenggut, tapi pria itu tetap mengangguk dan melanjutkan bercerita. "Dia terlihat menyedihkan."

"Menyedihkan bagaimana?! Maksudmu dia gelandangan begitu?!"

Robin mendorong kepala Yuna kesal, pria itu mendelik buas, Yuna hanya mengendik tak acuh membuat Robin mendengus.

"Maksudku, menyedihkan karena ada luka tamparan di pipinya, sangat-sangat merah. Aku sempat menawarkan untuk mengobatinya dan membawanya kemari, tapi dia menolak." Robin mendesah lesu, kaki pria itu diangkat dan bertumpu di atas meja. "Katanya dia tak mengenal siapa aku, makanya saat di ajak tak mau. Aku mengajaknya berkenalan, tapi mukanya malah memerah dan dia lari begitu saja. Ingin mengejar, tapi aku ragu, karena hari sudah larut malam, jadi aku biarkan saja."

Yuna berkedip cepat dengan mulut terbuka, gadis itu menelan ludah dan berteriak dalam hati.

Dasar guobbloookkkkkk!!!!

...

Asrael menghela nafas berkali-kali, tangannya senantiasa melempar batu kerikil ke danau yang ada di depannya. Jiwanya di landa kebosanan berat, niat ingin menyusul Patricia yang ada di Jawa, tapi Ayahnya tak memperbolehkannya.

Ingin melawan, tapi apa boleh buat, Asrael tak berani menentang keputusan Ayahnya.

"Apa yang harus aku lakukan? Aku bosan." Asrael mengeluh kecil dan mengusap keningnya yang tak ada keringat sama sekali, laki-laki itu membaringkan tubuhnya di atas rumput dan menatap pepohonan yang rimbun.

"Asrael!"

"Asrael!"

"Asrael Ezra Wijaya! Kemari!"

Asrael mengedip lambat ketika melihat Kakaknya dengan gaun putih, terduduk di tangga menuju rumah pohon. Gadis itu melambaikan tangan dengan senyum tipis dan tak henti-hentinya memanggil namanya.

Tubuhnya mulai bangkit dan berjalan mendekat, hingga tiba-tiba Kakaknya sudah berada di hadapannya.

Asrael berkedip cepat, senyumnya mengembang sempurna kala matanya menangkap jika sang Kakak benar-benar ada di depannya.

Tangan Asrael terangkat, hendak menggapai wajah Kakaknya, namun yang dia sentuh hanyalah angin kosong, senyumnya surut begitu saja.

Tangannya menggantung lemas di kedua sisi tubuhnya, Asrael menatap rumah pohon dengan tatapan kosong, hingga beberapa detik kemudian air matanya mengalir membasahi pipi.

Asrael menunduk, menatap hamparan rumput yang dipijakinya, laki-laki itu menggigit kecil bibir bagian dalamnya pelan. "Aku rindu Kakak.."

Bibirnya bergetar, hingga kemudian terdengar isak tangis yang menyayat hati seseorang yang mengamati Asrael di balik dahan pohon.

"Asrael! Merindukan ku?"

Missing You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang