• 14 •

2 1 0
                                    

Playing Now
Maudi Ayunda | Kamu Dan Kenangan

⏪⏸⏩

Septi menatap sekelilingnya, gelap, itulah yang hanya dapat ditangkap oleh netranya, semuanya gelap, tak ada cahaya sedikitpun.

"Aku dimana sih?" Gumamnya dengan menahan rasa takutnya, hawa disini begitu dingin dan menusuk kulitnya, Septi memeluk dirinya sendiri.

"Tolong!!"

"Halo! Apa ada orang?!"

Septi mulai berteriak dengan kaki yang melangkah tanpa arah, tangannya terjulur ke depan, dia tak dapat melihat apapun, semuanya gelap.

Teror ketakutan mulai merasuki jiwanya, Septi bisa merasakan air mata mulai mengalir membasahi pipinya.

"Tolong!!"

"Apa disini ada orang?!"

"Tolongin aku! Aku takut!!"

"Ayah!! Bunda!! Ayah!!"

Badannya lemas, Septi jatuh terduduk di atas entah lantai atau apa. Semuanya benar-benar gelap gulita hingga dia tak bisa melihat apapun, sebenarnya dia ada dimana?

"Terus berjalan lurus dan kamu akan keluar."

Tubuhnya tersentak, kepalanya menoleh kesana kemari, tapi percuma karena hanya kegelapan yang di dapat.

Septi berusaha untuk berdiri, tapi seberusaha keraspun tetap tidak bisa, kenapa kakinya tiba-tiba tak bisa digerakkan?

"Merangkak lurus."

Septi menuruti semua suara yang entah dari mana asalnya, dia mulai merangkak lurus sekuat yang dia bisa, kakinya berat hingga menambah bebannya.

Baru saja beberapa rangkakkan tapi dia merasa sangat lelah, Septi bisa merasakan ada darah yang mulai mengalir dari hidung dan lututnya.

"Kaki aku kenapa ngga bisa di gerakin sih?!" Gumamnya putus asa, air mata semakin deras keluar.

"Tolong!! Apa ada orang?!"

Histeris.

Terus seperti itu, di setiap rangkakannya Septi terus-menerus bergumam kata 'tolong' yang entah ada yang mendengar ataupun tidak, rasa takut, lelah, putus asa, frustasi bercampur menjadi satu, membuat Septi merasa jiwanya akan segera hancur beberapa detik lagi.

"Aaa..."

Septi menutup rapat kelopak matanya, tiba-tiba saja sebuah tangan entah dari mana menariknya dengan kencang namun terasa lembut.

"Kamu kenapa? Ayo! Buka mata kamu."

Membuka kelopak mata dan mengerjap-ngerjapkan nya, menyesuaikan matanya dengan cahaya yang merasuk, setelah terbuka sepenuhnya pandangannya berkeliling.

Dia dibuat kagum karena tempatnya sat ini benar-benar indah, sadar jika ada sebuah tangan yang mengelus rambutnya Septi mendongak, hingga menemukan wajah seseorang yang selama ini dia rindukan.

Mulutnya terbuka dengan mata membola tak percaya, tangannya terangkat meraba wajah di depannya, dia bisa merasakan kulit halus yang selalu dia raba setiap harinya.

Air mata kebahagiaan mengalir dengan deras, seseorang yang tak lain Aya tersenyum dan menangkup wajah Septi dengan lembut, mengusap pipi Septi perlahan.

"Aku kangen Ay." Isak Septi dengan tubuh yang bergetar hebat, tangannya melingkar erat di pinggang gadisnya.

Aya berusaha melepaskan lilitan tangan Septi di pinggangnya, membawa Septi ke dalam pangkuannya, bibirnya menyunggingkan senyum yang terlihat indah dimata Septi.

"Aku juga kangen kamu."

Wajah mereka mendekat, Aya mengecup hidung Septi sekilas dan menggesekkan hidung mereka, membuat Septi tersenyum geli.

Aya tak berkata apapun, dia hanya diam dan tersenyum, menatap Septi yang terlihat bahagia dipangkuannya.

Aya memajukan wajahnya mendekati rahang Septi yang terpampang jelas karena Septi tengah mendongak menatap langit, bibir gadis itu mendarat disana, Septi melenguh pelan kala merasakan hisapan di rahangnya.

Bukan menghindar seperti biasa, Septi mengalungkan tangannya dileher Aya, dia merapatkan tubuhnya dengan Aya, yang membuat gadis itu semakin gencar menciumi rahangnya.

Aya menyudahi perbuatannya, tangannya memeluk pinggang Septi semakin erat, mereka bertatap mata dengan dalam.

"Kamu cinta sama aku kan?" Septi mengangguk pasti dengan mata yang tak lepas memandang wajah Aya, seakan jika dia berpaling Septi takut tak bisa melihat wajah itu lagi.

"Kamu sayang sama aku kan?"

Septi mengangguk lagi, Aya tersenyum. Wajah mereka semakin mendekat dan mendekat, hingga bibir mereka beradu satu sama lain, Aya menggerakkan bibirnya, mengulum bibir Septi dengan rakus.

Septi hanya bisa memejamkan mata dan menikmatinya, ketika kulumannya di rasa berhenti Septi membuka kelopak matanya pelan.

Matanya membola kaget, dia berterik kencang dengan memeluk tubuh Aya yang tergeletak dengan penuh darah.

"Jangan tinggalin aku Ay, jangam tinggalin aku." Racaunya dengan tangisan yang keras.

Aya tersenyum kecil dengan tangan yang berusaha meraba wajah Septi, Septi membawa tangan Aya dan dia tempelkan pada pipinya, isakan masih keluar dari bibirnya.

"Ma-af-fin-ak-khu.." Ucap Aya dengan terbata-bata, Aya terbatuk dan memuntahkan darah, mengotori baju yang mereka berdua gunakan.

Kepala Septi menggeleng brutal. "Nggak Ay! Ngga! Jangan tinggalin aku Ay! Ay! Bangun Ay!"

Septi mengguncang tubuh Aya dengan keras, fikirannya kacau, untuk yang kedua kalinya gadisnya merenggang nyawa tepat di hadapannya.

Air mata membasahi wajahnya, Septi terisak-isak. "Ini ngga mungkin, ingi ngga mungkin! Hikss Aya.."

"Aya!!"

"Septi! Septi bangun Septi!" Raikan mengguncang tubuh putranya dengan panik, Septi terduduk di ranjang dengan nafas yang memburu, keringat dingin membasahi kening dan punggungnya.

Raikan mengusap keringat Septi dengan tangannya, pria itu memberi Septi minum agar sedikit tenang, Septi menerimanya dan langsung meminumnya dengan rakus.

Raikan duduk di tepi ranjang, menatap Septi yang masih mengatur nafasnya. Tangannya terangkat dan mengusap rambut Septi pelan.

Septi berusaha mengangkat kakinya, tapi Raikan menahannya, pria itu menggeleng pelan. "Kaki kamu-"

"Aku ngga mau lumpuh! Ngga mau."

Septi menggeleng brutal, dia berusaha mengangkat kaki kanannya lagi, tapi usahanya sia-sia, Raikan berusaha menghentikan perbuatan putranya itu.

"Berhenti Septi, kamu ngga lumpuh, kamu masih bisa jalan, tulang kaki kamu cuman retak." Bantah Raikan sambil berusah menghentikan tangis putranya, Septi menghentikan perbuatannya yang membuat kakinya terasa sakit.

Tangisnya sudah berhenti, sesekali terdengar sesegukan, dirasa sudah lebih baik Septi mendongak menatap Ayahnya.

"Benerkan cuman retak, ngga patah?" Tanyanya guna memastikan.

Raikan mengangguk mantap, tangannya mengusap rambut Septi lembut, pria itu mengulum senyum.

"Iya, cuman retak. Dua bulan kaki kamu bakalan sembuh, Ayah janji."

Septi diam, dia kembali memeluk Ayahnya dengan erat, Raikan membalasnya dengan tak kalah erat, tangannya tak berhenti mengusap punggung Septi agar lebih tenang lagi.

Kamu seneng lihat aku menderita, Ay?

Missing You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang