Playing Now
Ify Alyssa | Sisa Hari⏪⏸⏩
"Mau ikut?"
"Kemana?" Tanya Septi pelan, tangannya sibuk membereskan dan memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
Jam sekolah baru saja berakhir, dan kelas sudah lumayan kosong, kini hanya Septi dan teman-teman satu sekolah SD-nya dulu yang ada di kelas.
Dani berdehem pelan. "Kita main dulu aja yok! Di halaman belakang sekolah, gue denger disana ada taman dan suasana-nya sepi." Jelas Dani buru-buru ketika melihat Septi akan menolak.
Septi menimang-nimang keputusannya, Ayahnya akan menjemputnya saat jam empat sore, dan ini baru saja jam tiga, jadi masih ada waktu satu jam lagi.
Saat akan menjawab, ada seseorang yang menyela lebih dulu.
"Gue ngga bisa, gue harus ngelakuin sesuatu." Kontan mereka menatap Epul yang masih memasukkan bukunya ke dalam tas, begitu selesai, laki-laki itu mencangklong tasnya dipundak dengan cepat.
"Sorry, ada yang harus gue urus. Urgent nih! Menyangkut masa depan gue, duluan ya. Icol lo balik sama si jambul unta oke? Oke." Epul pergi berlalu setelah menyalami semua temannya, Dani memandang kepergian Epul dengan wajah masam.
"Jambul unta jambul unta, gue punya nama kali." Gumamnya kesal. "Eh! Gimana? Pada mau kan? Yok lah! Ayo Lia!"
Melihat Dani yang mulai melangkah menjauh, mereka pun mengikut dari belakang, hanya Epul yang tidak ikut dan Anton juga mengikuti jejak laki-laki itu.
Sesampainya di taman, Septi mendudukkan dirinya di atas rumput. Berada disini membuatnya menjadi bernostalgia, karena dulu dia sering sekali bermain ke taman, tentu saja dengan Aya yang mengikuti dan menjaganya layaknya bodyguard, tapi untuk Septi Aya lebih dari itu.
"Ayo buka mulutnya, ini enak loh." Septi menyodorkan sesuatu ditangannya, seperti coklat tapi bukan, Aya asing dengan makanan ini.
Sedikit ragu, Aya menerima suapan itu, hingga makanan itu ada di dalam mulutnya, perlahan Aya mengunyahnya, terdengar suara gemelutuk gigi yang beradu.
"Ini apa sih? Makanan ini enak, tapi aku ngga tahu namanya apa." Ucap Aya setelah menelan sesuatu dalam mulutnya.
"Itu milo." Jawab Septi kalem, dia juga ikut mengemil milo yang tidak cair itu. Aya mengernyit heran. "Milo? Minuman itu? Tapi kenapa bisa kayak gini?" Tanyanya penasaran, tangannya juga ikut mencomot milo yang sengaja Septi simpan di tupperware kecil miliknya.
Septi mengendik bahu. "Aku ngga tahu, ini Ayah yang buat, katanya enak buat cemilan, asal jangan dimakan setiap hari, nanti sakit gigi." Katanya jujur.
Septi memang tidak tahu menahu soal milo yang bisa menjadi seperti ini, tapi sekilas kemarin Septi melihat Ayahnya yang terus berkutik dengan setrika dan beberapa renceng milo di sampingnya.
Hingga tadi pagi Ayahnya menawarkan, tanpa berkata apa-apa Septi menerima saja, dan saat memakannya pertama kali, Septi suka jadi dia juga berniat menawarkan-nya pada Aya saat mereka pulang sekolah nanti.
"Nah! Karena kata Ayah kamu ngga boleh makan banyak-banyak, udah dulu ini, buat besok lagi." Ucap Aya, tangan gadis itu merebut tupperware ditangan Septi dan memasukkannya ke dalam tas miliknya.
Septi memandang Aya dengan bibir manyun, padahal dia belum puas memakan cemilan itu, tapi dia juga mulai merasakan giginya ngilu karena terlalu banyak memakan coklat.
"Ayo pulang, nanti sampai rumah aku bikinin air anget buat kamu minum, aku tahu gigi kamu mulai ngilu." Aya merapihkan buku gambar dan pensil warna yang tadi Septi gunakan untuk menggambar pemandangan awan di atas mereka.
Sejenak Aya memandang gambar itu, gadis itu tersenyum dalam hati dan memasukkan buku gambar ke dalam tas. Setelah semuanya beres, Aya mencangklong tas Septi di tangannya, dia tidak membawa tas miliknya, karena memang Aya tidak pernah membawa tas ke sekolah.
"Ayo." Aya mengulurkan kedua tangannya pada Septi, yang langsung disambut oleh Septi dengan semangat.
Aya berjalan meninggalkan taman bersama Septi yang ada dipangkuannya. "Gigi aku ngilu Ay." Gumam Septi pelan, dagunya dia tumpukan di pundak Aya, Aya menepuk-nepuk kepala Septi pelan.
"Makanya nanti pas pulang, aku bikinin kamu air anget, biar nanti kamu kumur-kumur pake air anget." Ucapnya perhatian.
Septi memandang ke depan dengan pandangan kosong, sekarang tidak ada lagi yang se-perhatian itu padanya, memperhatikan semua kebutuhannya dengan detail. Memang ada Ayahnya, tapi tidak setiap hari, karena pria itu juga sibuk dengan pekerjaannya.
Tangannya memeluk lututnya dengan erat, menumpukan dagunya di lutut, sedetik kemudian tetes demi tetes air mata keluar dari pelupuk matanya, disusul dengan isakan tertahan karena tak mau menganggu teman-temannya yang lain.
Sayangnya isakan itu terdengar sampai dimana Dani dan yang lain, kontan mereka menoleh dan dengan cepat berdiri, menghampiri Septi yang menangis terisak dengan tatapan kosongnya.
Berkali-kali pemandangan ini membuat hati mereka teriris perlahan-lahan, membuka luka lama yang tak akan pernah terkubur di hati mereka.
"Val, lo kenapa?" Silvee bodoh, jelas-jelas dia tahu jika Septi menangisi kepergian Aya yang masih belum di terima dihatinya.
"Gu-gue hikss.." Septi tak sanggup menjawab pertanyaan temannya yang sudah seperti keluarga itu, kepalanya terbenam disela-sela lututnya, bahunya semakin bergetar.
Isakan-isakan lainnya menyusul, Risa maju dan bersimpuh dihadapan Septi, baginya begitupun mereka Septi dan Aya sudah seperti adik yang harus dijaga dengan ketat agar tidak ada lecet atau luka sedikitpun.
Risa menangkup dan memaksa agar Septi menatapnya, terpaksa Septi mengangkat wajahnya. "Gue tahu lo sedih, lo boleh nangis Val, dan gue ngga berhak ngusap air mata kesedihan lo. Tapi satu hal yang harus lo tahu, kita juga kangen sama dia, bukan lo doang." Ucapnya serak, air mata mereka sama-sama berjatuhan, mendengar itu malah membuat Septi semakin menangis terisak.
Dani mendekat dan membawa Septi ke dalam rangkulannya, menepuk-nepuk pundak Septi agar tenang, tapi semua usaha mereka percuma, tangis Septi tidak akan berhenti begitu saja.
"Gue kangen sama Aya, gue kangen dimanjain dia, gue kangen pas dia gendong sama pangku gue, gue kangen pas dia nyuapin gue makan, gue kangen semua yang Aya lakuin sama gue, gue kangen sama dia..." Lirih Septi sambil terisak hebat, mereka mengatupkan bibir rapat-rapat, hati mereka sakit bagai dihantam batu besar, membuat sesak yang tak terkira.
Rian mengalihkan pandangan, tak kuasa menatap pemandangan di depannya, akhirnya setitik air mata jatuh perlahan membasahi pipinya.
Kapan lo kembali? Pliss kita butuh lo, terutama dia.. Mohonnya dengan sangat, berharap seseorang dapat mendengar permohonannya dan mengabulkannya dalam waktu dekat.
Maaf, gue ngga bisa ngasih tahu kalian, apa yang sebenarnya terjadi, ucap Rian dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing You [End]
Mystère / ThrillerMungkin Tuhan memang menakdirkan hidupnya penuh dengan kesialan, di mulai dari hal-hal yang kecil, sampai hal besar. Contohnya Rival Septian Nugraha yang tak pernah punya teman dan selalu di jauhi di sekolahnya, dan dia tak tahu apa kesalahannya. La...