• 31 •

0 0 0
                                    

Playing Now
Lenka | Trouble Is A Friend

⏪⏸⏩

Bandung, 2 tahun kemudian...

Septi menarik nafas gugup dan membuangnya pelan, hari ini dia secara resmi akan bersekolah seperti biasa. MOS sudah dilaksanakan satu minggu yang lalu dan hari ini adalah saat dia resmi diterima disekolah barunya.

Netranya menatap pantulan dirinya dicermin, tak terasa waktu berjalan dengan begitu cepat. Begitu banyak perubahan dari dirinya, tinggi tubuhnya meningkat begitu pesat, hampir setara dengan tinggi Ayahnya.

Ahh sudahlah, dari pada terus memperhatikan tubuhnya di cermin, lebih baik dia segera ke ruang makan, Ayahnya pasti sudah menunggu disana.

Mengambil tas yang tergeletak di ranjang, Septi keluar dari kamarnya sembari merapikan seragam dan almamaternya.

...

"Baik-baik ya." Raikan menepuk-nepuk puncak kepala Septi lembut dan tersenyum hangat, Septi mengangguk kecil dan tersenyum tipis.

Dia melambaikan tangannya ketika Ayahnya melambaikan tangannya, setelah mobil Ayahnya berlalu Septi berbalik memasuki gerbang sekolahnya dengan langkah santai.

Bulu kuduknya meremang ketika dia memasuki gerbang sekolah, padahal suasana sangat ramai karena banyak siswa-siswi yang berjalan kesana kemari, mau itu junior atau senior sekalipun.

Kepalanya menunduk menatap jalan yang dia pijaki, sejak dia masuk gerbang semua perhatian selalu tersita padanya, membuatnya merasakan tak nyaman, padahal saat MOS tak ada yang memperhatikannya sama sekali.

Tidak ada lagi rasa gugup yang dirasakannya tadi, yang ada sekarang hanyalah rasa kesal karena dirinya menjadi pusat perhatian, lagi pula apa yang mereka perhatikan darinya? Pikirnya gelisah.

Puk

Septi menoleh ke samping kala tepukan mendarat dibahu kirinya dan menemukan temannya yang tersenyum tipis.

Rian memandang Septi datar, tapi bibirnya menyungging senyum tipis. "Ngga papa, lo ngga perlu takut." Katanya pelan, Rian mengerti Septi gelisah, karena biasanya saat menjadi pusat perhatian seperti ini, selalu ada Aya yang berjalan dan melindunginya di sisinya.

Septi membuang nafas dan mengangguk pelan, akhirnya mereka bertiga-bersama Silvee yang sedari tadi diam membisu berjalan ke kelas, karena entah kebetulan atau apa, saat melihat mading dan membaca pengumuman pembagian kelas, kelas mereka sama, membuat Septi diam-diam mendesah lega dalam hati.

Aku takut Ay, seandainya aja kamu masih ada disini. Batinnya sambil berandai-andai.

Sesampainya di kelas, Septi memilih kursi yang ada di tengah, entah dengan siapa dia akan duduk, Septi tak terlalu memikirkan hal itu.

"Lo ngga papa Val?" Septi menoleh ke kanan, menemukan Dani yang menatapnya khawatir, mungkin laki-laki itu melihatnya melamun.

Septi tersenyum kecil dan menggeleng pelan. "Gue ngga papa." Jawabnya pelan, Septi kembali fokus menatap ke depan, lebih tepatnya pada layar ponselnya yang hidup.

Netranya fokus terhadap wajah yang terpampang disana, terlihat Aya yang berpose-ah sebenarnya gadis itu tidak sedang berpose, foto ini diambil secara sengaja oleh Septi yang saat itu duduk di belakang Aya karena sehabis mengepang dua rambut panjang gadis itu.

Meski begitu, Aya tetap terlihat mempesona. Tidak bergaya seperti ini saja Aya sangat cantik, Bagaimana jika bergaya lalu tersenyum dan tertawa lebar? Membayangkan hal itu membuat Septi tersenyum lebar dalam hati.

"Selamat pagi anak-anak. Baiklah, karena hari ini adalah hari kalian pertama masuk, jadi tidak akan ada kegiatan pembelajaran..."

Septi tersentak dan cepat-cepat memasukkan ponselnya ke dalam saku almamater, dia melipat tangannya di meja dan menatap ke depan, fokus pada sosok guru wanita yang berkata jika dia adalah wali kelas mereka dan hal-hal lainnya.

Hemm, setidaknya aku tidak mendapatkan wali kelas yang genit seperti dulu. Ucap Septi dalam hati.

...

"Yak! Appa! Dimana Robin Samchon hah?! Aku sudah sampai di Bandung, tapi dia belum juga datang." Yuna berkata kesal pada sang Ayah yang ada di sebrang sana, mereka saat ini berbicara melalui ponsel.

Yuna tak peduli jika sang Ayah jengkel karena langsung mendapat semburan lahar darinya, Yuna terlampau kesal hari ini.

Sang Ayah menyuruhnya untuk pindah ke Bandung, entahlah apa alasannya, Yuna tidak tahu pasti. Dan yang lebih menyebalkannya lagi sang Ayah menyuruhnya sekolah lagi.

Appa pasti sudah gila! Makinya dalam hati.

Di sebrang sana, Haruka memijat keningnya yang berdenyut tiba-tiba, baru saja mengangkat telepon, putrinya ini sudah berbicara dengan nada tinggi membuat telinganya berdengung.

Ingin marah tapi terlalu sayang. Ucapnya dalam hati.

"Appa tidak tahu dia dimana, mungkin dia masih dalam perjalanan. Kau tahu dia tidak sudi naik heli ataupun pesawat bukan?" Sahut Haruka di sebrang sana, Yuna mendengukus dan memutuskan sambungan tanpa pamit, membuat Haruka mengumpat pelan karena attitude putrinya yang begitu buruk padanya.

Pandangannya mengedar, menatap sekelilingnya. Sial! Dia jadi pusat perhatian, apa karena terlalu mencolok ya? Yuna lupa jika dia ada di Indonesia, dan jika tak salah belakangan banyak anak muda, remaja bahkan anak kecil yang mengidolakan Oppa-Eonni Korea.

Jegil! Makinya dalam hati, sekarang Yuna berharap tak ada yang maju untuk mengerumuninya.

Yuna memberikan tatapan tajam pada mereka yang berusaha mendekatinya, bahkan sebuah kamere sudah terpegang di tangan mereka masing-masing.

"Yuna!" Panggilan suara yang sangat Yuna kenal membuat gadis itu menoleh kesal, netranya memicing tajam pada sang Paman yang kini hanya cecengesan tak jelas di hadapannya.

Yuna mendelik dan mendesah malas. "Kau kemana saja? Aku hampir lumutan disini menunggumu kau tahu?!" Pekiknya kesal, kakinya mengentak geram.

Robin meringis tak enak, guna meredakan kekesala anak gadis di hadapannya Robin mengelus kepala Yuna lembut, yang justru langsung ditepis si empunya dengan ekspresi menyakitkan mata.

"Jangan elus rambut ku, dasar neulg-eun cheonyeo! Wllee~." Olok Yuna sambil memeletkan lidahnya, membuat Robin kesal, apalagi dirinya dipanggil 'neulg-eun cheonyeo' yang artinya perjaka tua, dua kata yang membuatnya kesal bukan main.

Yuna pergi berlalu memasuki gedung apartement, meninggalkan Robin di depan lobi, membuat pria tampan itu mengumpat pelan, dan berjalan menyusul dari belakang.

Jabjong! Anak itu.. Sudah genit, menyebalkan pula! Aisshh. Rutuknya dalam hati.

Missing You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang