23

1.4K 248 23
                                    

'Gue gak bisa ngasih tau secara detail, mungkin Ellya bisa ngasih tau lebih jelasnya.'

'Jadi ini masalah penyelundupan senjata api? Tapi mengapa dan siapa?'

'Yang pasti itu ada hubungannya sama rencana penurunan raja Albert, tapi masalah siapanya gue juga gak tau.'

Tara melirik Ellya yang duduk di jok sampingnya, lalu menatap supir pribadi Lordy yang kini mengantarkannya dan Ellya pulang.
"Bisakah anda menutup pembatas kabinnya?" Sopir besar kerajaan itu mengangguk.

Kini tinggallah Ellya dan Tara yang masih saling diam, Tara dengan rasa penasarannya sedangkan Ellya dengan rasa takutnya.

"Aku tau ada yang mengganggumu."

Ellya menoleh dengan mata berkaca-kaca, tapi ia tersenyum. "Aku tidak apa-apa."

Melihatnya Tara jadi makin kesal. Apa susahnya bercerita padanya?

Tangannya lalu memegang kedua bahu Ellya menghadapkan kearahnya. Air matanya yang sebelumnya cuma menggenang kini benar-benar menetes di pipi.

"Dengar, tak ada yang boleh membencimu lebih dari aku, tak boleh ada yang membuatmu takut selain aku, tak boleh ada yang membuatmu menangis dan terluka selain aku. Aku satu-satunya yang boleh melakukan semua itu, tidak dengan Lordy, Audrey, Alven, atau siapapun. Cuma aku, kau dengar!"

Ellya mengangguk, Tara dan semua kata-katanya yang mengancam itu justru membuat hatinya menghangat, seolah tujuannya mengatakan itu bukan untuk menakutinya, tapi untuk melindunginya.

"Jadi ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi, akan kupastikan si bajingan yang berani mengganggumu akan mendapatkan balasannya." Ujarnya, kali ini sambil mengusap air mata Ellya yang membasahi pipi.

Ellya terdiam sejenak sebelum akhirnya menarik nafas lalu mengusap air matanya. Mungkin ia benar-benar butuh seseorang untuk diajak bercerita.

"Saat aku kembali dari toilet, ada 3 orang yang berbicara di samping jalan setapak. Mereka membicarakan mengenai perjalanan barang mereka yang terjebak di perbatasan kota Kaido."

"Lalu?"

"Entahlah, tiba-tiba mereka melihat kearahku lalu salah satu dari mereka mengejarku sambil bertanya apa aku mendengarnya, aku menjawab tidak, tapi dia masih ingin memukulku, lalu salah satu temannya menyuruh untjk membiarkanku pergi dan mengatakan untuk tidak mengatakan apa yang ku dengar pada siapapun." Ia menutup mukanya dengan telapak tangan. Membayangkan bagaimana muka bengis itu hampir melemparkan tinju padanya. "Itu menakutkan."

"Kau mengingat wajahnya?"

"Aku cuma ingat paman yang hampir memukulku. Ada seorang pria dan wanita di taman, aku tak bisa melihat jelas wajahnya karena cukup gelap."

Sepertinya Ellya benar-benar ketakutan melihat bagaimana ia mencengkeram ujung gaunnya dengan erat. Matanya bahkan kembali berkaca-kaca.

"Tenanglah." Ujar Tara sambil mengelus pundak Ellya.

"Ia benar-benar menakutkan."

Tak tega melihat tubuh Ellya bergetar, Tara dengan ragu mendekatkan tubuhnya pada gadis itu lalu mendekapnya dalam pelukan. Tubuh Ellya benar-benar dingin.

Ia sempat tertegun kaku meski pada akhirnya ia berhasil merilekskan diri sambil menyandarkan tubuhnya dalam dekapan hangat Tara yang beraroma citrus. Degupan jantung teratur milik Tara juga membuat Ellya menemukan temponya, begitu damai pikirnya.

"Kau hangat." Ujarnya lirih, namun Tara masih bisa mendengarnya.

"Aku normal, kau yang terlalu dingin."

Dream With SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang