20

1.5K 253 8
                                    

Ketukan bolpoin diatas meja itu menyadarkan Ellya dari lamunannya, ia lalu menatap Tara yang juga tengah menatap heran kearahnya. "Apa? Jangan melamun!" Tegurnya sebelum menatap pada pembimbing yang tengah berbicara di depan.

Ia menjelaskan mengenai rincian tugas beserta kriteria penilaian yang harus dikerjakan secara kelompok. Kelompoknya sendiri terdiri dari 2 orang yang dikelompokkan berdasarkan absen. Nasib buruk menunggu Ellya yang nomor absennya tepat berada dibawah Tara.

Satu kelompok dengan Tara? Untuk tugas akhir semester? Sebenarnya tak terlalu buruk. Kecuali sifatnya yang semena-mena dan suka merepotkannya. Sejujurnya Ellya cukup was-was meski ia tak bisa mengungkapkannya dengan gamblang.

"Kita akan mengerjakannya di asrama." Ujar Tara sambil mengemasi bukunya ke dalam tas, nampaknya ia terburu-buru sekali.

Lihat, ia bahkan tak meminta persetujuan Ellya untuk menentukan kapan pengerjaannya. Benar-benar tukang perintah. Khas bangsawan.

Tapi ia sudah berjanji akan membantu Meira mencari buku di perpustakaan.
"Sekarang?" Tanyanya.

"Tahun depan, tentu saja sekarang, jelek!" Ellya menatap melas pada Tara yang terlihat tak ingin dibantah.
"Kau berjanji akan melakukan apapun untukku kan, jadi turuti perkataanku hari ini!" Ujar sebelum berlalu keluar kelas tanpa membawa tasnya.

Pasti ke toilet, Tara kan pengunjung tetap toilet di jam pulang sekolah.

"Ellya. Apa kita jadi?" Meira menghampirinya dengan senyuman lebarnya. Ellya memang sudah berjanji akan menemani Meira hari ini, tapi ia juga tak bisa membantah Tara.

Hal ini membuatnya bimbang.

"Meira, maafkan aku. Aku berjanji padamu hari ini tapi aku terpaksa mengingkarinya." Ia menyatukan kedua tangannya dengan mengutarakan permohonan maaf yang paling dalam.

"Apa ini karena pangeran Lordy? Aku akan bicara padanya." Meira masih ngotot. Masalahnya simpel, Meira membutuhkan buku itu sekarang namun dirinya tak berani ke perpustakaan sendirian.

"Bukan.. aku.."

"Dia ada urusan denganku." Ujar Tara yang baru memasuki kelas.

Ia kemudian menarik tasnya sambil merapikan beberapa buku paket Ellya yang belum dikemasi.

'Apa yang sedari tadi dilakukan anak ini, mengapa mengemasi buku saja lama sekali.' Batinnya kesal.

"Cepat bodoh!" Ujarnya dengan muka kesal.

Mendengar temannya dikatai demikian membuat Meira kesal.
"Anda seharusnya tak mengatai ia demikian, Nona. Sangat tidak pantas bagi tunangan pangeran muda untuk mengatakan hal-hal semacam itu."

Tara tersenyum miring lalu melipat kedua tangannya kedepan dada. "Wah.. wah.. lihat dia. Lihat bagaimana burung kenari ini baru saja berkicau." Ejeknya sambil menatap remeh pada Meira.

Begini-begini ingatannya tajam, ia ingat sekali bagaimana siswi yang sok kokoh di sudut pandangnya ini menyudutkan Tara di pertemuan beberapa waktu lalu. Menyebalkan. Pasti ia golongan rakyat yang hobi menyebarkan berita hoax dengan menelannya mentah-mentah.

Melihat suasana makin panas, Ellya berusaha menghentikan keduanya.
"Nona Tara, hentikan." Ia menarik-narik ujung seragam Tara, lebih baik ia saja yang dimaki Tara, jangan orang lain.

Meira cuma tertawa meski dalam hati ketar-ketir. Tatapan Tara begitu menusuk. "Saya tak menyangka bangsawan yang terlahir kaya raya dengan pendidikan mahal dan tak pernah tahu rasanya lapar ternyata tak bisa menjaga lisannya. Memalukan."

'Hahahaha, duh unek-unek gue sebagai warga pas-pasan di real life terwakilkan banget sama omongan ni bocah.'

Tara kehilangan kata-katanya. Dia terlahir berstatus bangsawan dan kaya saja disalahkan. Kalau tahu begini, mending dulu dia ngeteh di kantong semen saja daripada ikut lomba renang.

Dream With SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang