The End

2.2K 249 50
                                    

Mobil dinas kerajaan melaju kencang di tengah jalan ibukota, di belakangnya ambulan dengan sirinenya yang memekakkan telinga tak kalah kencang menyalip dan bergerak mengikuti si tikus hitam itu. Di dalam sana, anak laki-laki terbangun dengan jarum infus tertancap di tangannya. Hal pertama yang ia lihat pertama kali adalah Kaiz, pengawal pribadinya yang biasanya jadi ekornya kemanapun ia pergi.

"Anda sudah sadar pangeran?" ,

Lordy mengangguk lemah, badannya remuk setelah semalam berlari tak tentu arah dan berusaha keluar dari hutan. Ia sempat tersandung, jatuh beberapa kali, terpeleset, bahkah menggelundung dari dari ujung dataran yang cukup curam. Lalu satu-satunya hal yang bisa ia pikirkan sekarang adalah keberadaan Tara dan Ellya. Bagaimana keadaan mereka?

"Ellya.." suaranya serak.

Kaiz segera menanggapi, "ada apa dengan nona Ellya? Apa anda mengetahui keberadaannya?"

"Ia bersama dengan Tara masih di sana." Lordy merasa kacau melihat raut wajah kebingungan Kaiz. "Kita harus kembali ke sana.

Melihat Lordy yang hendak memaksakan diri, Kaiz segera menghentikannya.
"Pangeran Muda, saya akan segera mengirim pasukan khusus untuk mencari mereka, anda tidak bisa kembali kesana." Ujarnya meyakinkan.

Pria itu dengan cekatan menghubungi seseorang dengan telepon dalam ambulan.

"Tuan Bil, pangeran muda mengatakan-"

Suara Kaiz mendadak samar di telinga Lordy. Otaknya tak bisa berhenti memikirkan skenario terburuk yang menimpa Ellya dan Tara. Bagaimana kalau Refal menemukan keduanya? Bagaimana kalau Aeden menyiksa mereka berdua.

"Aku seorang pangeran, tidakkah kau mulai memikirkan bagaimana pendapat masyarakat ketika tahu bahwa tunangan dan temanku masih tinggal di tengah hutan sedangkan aku duduk manis di ranjang rumah sakit?"

Kaiz dengan gagang telepon yang masih menempel di telinganya terdiam. Sejenak kemudian ia membuka suaranya, "Tuan Bil, putar kemudi. Kita kembali ke hutan kaki Gunung Mataru."

***

Di sisi lain, sinar matahari yang menerobos celah dinding kayu itu membangunkan ketiga bocah yang meringkuk dengan tak nyaman. Ellya yang pertama bangun menyadari Tara yang menggigil di sampingnya, tubuhnya kedinginan. Pakaian tipis yang ia kenakan jelas tak bisa melindunginya dari suhu rendah yang menyelimuti mereka.

Wajah kecilnya nampak pucat dan kulitnya terlihat sehalus porselen negeri Jina, hidungnya kecil namun tulangnya terlihat begitu kokoh, lalu bibir merah muda pucat yang makin melengkapi kecantikan muda Tara yang cenderung tak manusiawi. Ia berpikir demikian sebelumnya, tapi baru kali ini ia benar-benar menatap lamat Tara.

Begitu iris gelapnya menyapu pandangan Ellya, ia sontak gelagapan. "Tatapanmu." Ujarnya dengan suara serak. Ia duduk lalu mengusap mukanya dua kali.

"Aku cuma menatapmu, apa itu menganggu?"

"Ya, sangat menyebalkan." Keluhnya.

Ellya cuma tersenyum. Tapi sedetik kemudian senyumnya lenyap berganti dengan wajah muram seolah menyesal. "Maaf." Gumamnya.

Tara menatapnya bingung. "Kenapa kau minta maaf?"

"Maaf karena kau harus berakhir disini. Tapi selamat ulang tahun."

Ucapan Ellya terdengar begitu tulus di telinga Tara. Sejenak ia melupakan kepalanya yang berdenyut akibat kekurangan tidur, lalu tersenyum tipis. Ia bahkan tak mengingat hari ulang tahunnya sendiri, tapi gadis di depannya ini mengucapkannya.

Dream With SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang